By EmaLfath
Masa adalah keadaan lahir dan batin yang tengah dijalani seorang hamba. Sungguh merugi manusia kecuali orang yang tengah menetapi iman dan melaksanakan amal saleh. Karena itu Islam membimbing bagaimana seharusnya insan mengatur hari-harinya agar selalu berada dalam masa yang penuh keberuntungan.
Berikut tulisan mengenai cara-cara mengatur hari-hari kita, dimulai dengan Menyambut Pagi.
Bangunlah sebelum fajar dan berdzikir, segera setelah itu, lalu berwudhu, kemudian shalat. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ عَلَى مَكَانِ كُلِّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ. فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذِكْرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ
“Syaithan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Pada tiap-tiap ikatan itu, Syaithan menghembuskan: Tidurlah terus, malam masih larut. Maka, jika ia terbangun, hendaklah ia berdzikrullâh, sehingga terputuslah satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (melanjutkannya dengan) berwudhu, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (meneruskannya dengan mengerjakan) shalat, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu (sehingga ikatan Syaithan itu terputus seluruhnya). Dengan demikian, niscaya memancarlah ketangkasan dan kebersihan dari jiwanya, namun jika ia tidak melakukan hal-hal tersebut, maka memancarlah dari jiwanya kekotoran dan berbagai kemalasan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[1], Muslim[2], Ahmad[3], Ibnu Mâjjaĥ[4], Abû Dâwûd[5] dan Mâlik[6]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dalam Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud.
# Sebelum berwudhu, seyogyanya mencuci dulu kedua tangan di luar bejana dan beristintsâr (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) serta menggosok gigi. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وُضُوئِهِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka cucilah tangannya sebelum ia mencelupkannya ke dalam air untuk wudhunya, karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya itu terletak ketika tidur.” (Dikeluarkan oleh Muslim[7], Ahmad[8], Ibnu Mâjjaĥ[9], Ad-Darâmiy[10], Abû Dâwûd[11], At-Turmudziy[12], An-Nasâ-iy[13] dan Mâlik[14]). Ini lafaz dari Mâlik. Dalam hadîts yang diterima Ibnu Mâjjaĥ melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy, pencucian tangan itu dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Kebanyakan riwayat menyatakan tiga kali, kecuali hadîts yang diriwayatkan oleh Mâlik serta sebagian dari yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Mâjjaĥ, yang tidak menyebutkan banyaknya pencucian.
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيَاشِيْمِهِ
“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka ber-istintsâr-lah tiga kali, karena sesungguhnya Syaithan bermalam dalam rongga hidungnya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[15], Muslim[16] dan An-Nasâ-iy[17]). Ini lafaz dari Muslim.
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Seandainya tidak memberatkan ummatku, aku benar-benar telah memerintahkan menggosok gigi setiap kali wudhu.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[18], An-Nasâ-iy[19] dan Mâlik[20]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy. Ibnu Khuzaimaĥ menilainya shahîh, sedangkan Al-Bukhâriy menilainya mu’allaq.
# Jika berhajat ke kamar kecil atau WC, mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, dilakukan usai buang hajat.
Dalam membuang hajat, tetapilah dengan seksama aturan dan adab-adabnya; sebab, “tidak bersih” dalam kencing saja sudah cukup menjadi jalan datangnya siksa kubur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pernah bersabda ketika melewati dua kuburan yang masih baru:
إِنَّهُمَا لَيُعَذِّبَانِ وَمَا يُعَذِّبَانِ فِى كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ
“Sesungguhnya dua penghuni kubur ini benar-benar tengah ditimpa siksa; dan tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar. Salah seorang dari mereka, disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya; sedangkan yang satunya karena ia senang melakukan namîmah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[21], Muslim[22], Ahmad[23], Ibnu Mâjjaĥ[24], Ad-Darâmiy[25], Abû Dâwûd[26], At-Turmudziy[27] dan An-Nasâ-iy[28]). Ini lafaz dari Ibnu Mâjjaĥ.
# Jika dalam keadaan junub, setelah mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, lakukanlah mandi secara sempurna, sesuai aturan dan adab-adabnya, dan tidak mengapa mencukupkan wudhu dengannya. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ t meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
“Adalah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam tidak lagi mengambil wudhu sesudah mandi.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[29], Ibnu Mâjjaĥ[30], At-Turmudziy[31] dan An-Nasâ-iy[32]). At-Turmudziy menyatakan hadîts yang diriwayatkannya: hasan shahîh. Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: ba’da l-ghusli mina l-janâbaĥ (sesudah mandi junub).
# Usai berwudhu (atau mandi) dengan sempurna, mengikuti aturan dan adab-adabnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat wudhu, dan apabila “fajar shadiq” belum lagi terbit, bagi yang berniat shaum bisa mengerjakan sahur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْفجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاةُ وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar itu ada dua: Fajar yang mengharamkan makan-minum, tetapi menghalalkan shalat; dan fajar yang mengharamkan di dalamnya mengerjakan shalat, tetapi menghalalkan makan-minum.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimaĥ dan Al-Hâkim[33]). Al-Hâkim men-shahîh-kan hadîts ini.
Fajar yang pertama itulah yang disebut “Fajar Shadiq”; dan yang kedua, disebut “Fajar Kidzib”.
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidak seorang Muslim pun berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berdiri menunaikan shalat dua raka’at dengan menghadapkan sepenuh hati dan wajahnya dalam shalat itu, melainkan wajib baginya Surga.” (Dikeluarkan oleh Muslim[34], Ahmad[35], Abû Dâwûd[36] dan An-Nasâ-iy[37]).
# Apabila fajar shadiq telah terbit, tegakkanlah dua raka’at shalat sunat fajar. Mengenai shalat ini, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiallahu'anhu:
لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدُّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Tidak pernah Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam amat sangat mementingkan suatu nawafil seperti halnya terhadap dua raka’at sebelum fajar.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[38], Muslim[39], Ahmad[40], Abû Dâwûd[41] dan An-Nasâ-iy[42]). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy.
Apabila luput dari melaksanakannya sebelum shalat shubh, laksanakanlah segera setelah shalat shubh, jika waktu shalat shubh belum berakhir. Qais bin ‘Amrû t meriwayatkan:
خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الصُّبْحِ وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ حِيْنَ فَرَغَ مِنَ الصُّبْحِ فَرَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَمَرَّ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا هَذِهِ الصَّلاَةَ؟ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً
“Suatu hari, ia keluar ke Masjid untuk berjama’ah shalat shubh. Setibanya di sana, ia mendapatkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah shalat shubh, padahal ia belum menunaikan dua raka’at shalat fajar. Maka, ia pun shalat shubh bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah selesai, segera ia melaksanakan dua raka’at shalat fajar. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu mendatanginya, dan bertanya: shalat apa ini? Ia pun memberitahu (bahwa itu shalat fajar). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun diam dan berlalu, tidak mengatakan sepatah kata pun.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[43]). Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts ini isnadnya jayyid.
Jika waktu shubh sudah berakhir, matahari telah terbit, “qadhâ” shalat sunat fajar dilaksanakan sesudah matahari agak tinggi. ‘Imrân bin Hushain t meriwayatkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِى مَسِيْرٍ لَهُ فَنَامُوْا عَنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ فَاسْتَيْقَظُوْا بِحَرِّ الشَّمْسِ فَارْتَفَعُوْا قَلِيْلاً حَتَّى اسْتَقَلَّتِ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَ مُؤَذِّناً فَأَذَّنَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَقَامَ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ
“Dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, rombongan tertidur hingga luput melaksanakan shalat fajar. Mereka terbangun saat matahari telah terbit. Lalu mereka melanjutkan perjalanan hingga matahari agak tinggi. Setelah itu, Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam pun menyuruh Muadzdzin untuk mengumandangkan adzan, dan beliau pun menunaikan dua raka’at shalat sunat fajar. Lalu dikumandangkanlah iqamah, maka kemudian beliau menunaikan shalat fajar.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[44], Abû Dâwûd[45] dan An-Nasâ-iy[46]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.
Shalat fajar (dan, secara umum, shalat-shalat sunat lainnya) seyogyanya dilaksanakan di rumah. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى بَيْتِهِ تَطَوُّعاً نُوْرٌ فَمَنْ شَاءَ نَوَّرَ بَيْتِهِ
“Shalat tathawwu’ seseorang di rumahnya laksana cahaya; maka barangsiapa yang mau, cahayailah rumahnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[47]).
# Usai shalat sunat fajar, jika shalat shubh belum lagi di-iqamah-kan, atau jika diperkirakan cukup waktu untuk berjalan ke Masjid, berbaringlah sejenak pada lambung kanan, atau, bercakap-cakap sejenak dengan anggota keluarga yang telah bangun. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah t meriwayatkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فإِنْ كُنْتُ نَائِمَةً اضْطَجَعَ وَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً حَدّثَنِي
“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah menunaikan dua raka’at fajar, dan saya masih tidur, beliau pun berbaring; apabila saya sudah bangun, beliau bercakap-cakap dengan saya.” (Dikeluarkan oleh Muslim[48] dan Abû Dâwûd[49]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.
Lalu pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat shubh berjama’ah. Berjalanlah dengan tenang, tidak terburu-buru, serta tidak mempersilangkan jari jemari atau bersidekap, dan berdo’alah sepanjang jalan. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ والْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Apabila kalian mendengar seruan shalat akan ditegakkan, maka pergilah shalat. Jagalah cara berjalan kalian, setenang dan setegap mungkin. Jangan terburu-buru. Maka yang kalian dapatkan dari shalat secara berjama’ah, lakukanlah, dan yang ketinggalan, sempurnakanlah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[50], Muslim[51], Ahmad[52], Ibnu Mâjjaĥ[53], Abû Dâwûd[54], At-Turmudziy[55] dan Mâlik[56]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy.
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِداً إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ (وفى لفظ) فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Apabila salah seorang dari kalian berwudhu, sempurnakanlah wudhunya. Kemudian, apabila ia keluar menuju Masjid dengan sengaja, maka janganlah ia bersidekap, atau, mempersilangkan jari jemari, karena saat berjalan itu ia berada dalam shalat.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[57] dan At-Turmudziy[58]).
CATATAN: Berjama’ah di Masjid bagi wanita dibolehkan dengan syarat, walaupun bagi mereka lebih baik shalat di rumah. Sabda Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam:
لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid, namun di rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[59] dan Abû Dâwûd[60]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid-masjid Allâh, namun hendaklah mereka keluar tanpa wewangian.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[61], Ad-Darâmiy[62] dan Abû Dâwûd[63]).
# Sesampainya di Masjid, masuklah ke dalamnya dengan kaki kanan terlebih dahulu seraya membaca do’a. Mengenai mendahulukan kaki kanan dalam suatu urusan, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ radhiall:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam amat mementingkan bagian kanan dalam setiap urusannya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[64], Muslim[65], Ahmad[66] dan Abû Dâwûd[67]). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dan Abû Dâwûd.
Setibanya di dalam, berusahalah menempati shaff paling depan sebelah kanan, dan jangan melangkahi pundak-pundak orang lain, kecuali jika orang-orang menyia-nyiakannya (membiarkannya tidak terisi) --Pengecualian ini adalah pendapat sebagian Ahlu l-‘Ilmi lihat Al-Ghazâliy: Ihyâْ ‘Ulûma d-Dîn, Kitâb Asrâri sh-Shalât wa Mahmâtihâ, al-Bâbu l-Khâmis fî Fadhli l-Jum’ati wa Âdâbihâ wa Sunnanihâ wa Syurûtihâ, Bayânu Âdâbi l-Jum’ati ‘alâ Tartîbi l-‘Âdat, fî Hay-ati d-Dukhûli). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِّ اْلأَوَّلِ
“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff pertama.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[68], Ibnu Mâjjaĥ[69] dan Ad-Darâmiy[70]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjah fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa hadîts mengenai ini dari ‘Abdu r-Rahmân bin ‘Auf t yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjjaĥ, shahîh dan rijal-rijalnya tsiqât. Hadîts lain dari Al-Barâ` bin ‘Âzib t yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasâ-iy menggunakan lafaz: ’alâ sh-shaffi l-muqaddami (atas shaf yang lebih awal).
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوْفِ
“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff sebelah kanan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[71] dan Abû Dâwûd[72]).
مَنْ تَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اتَّخِذَ جِسْراً إِلَى جَهَنَّمَ
“Barangsiapa yang melangkahi pundak-pundak orang pada hari jum’at, ia telah mengambil jalan lintas menuju Jahannam.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥ[73] dan At-Turmudziy[74]).
Kemudian, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat tahiyyatul masjid, sebelum duduk, kecuali jika shalat sudah di-iqamah-kan. Jika tidak (hendak) melakukannya, cukup membaca al-bâqiyyâtu sh-shâlihât satu, tiga atau empat kali (lihat Al-Ghazâliy: Bidâyatu l-Hidâyah, Âdâbu Dukhûli l-Masjid dan An-Nawawiy: Al-Adzkâr An-Nawawiyyah, Bâb Mâ Yaqûlu fî l-Masjid.). Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلِيَرْكِعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang dari kalian memasuki Masjid maka hendaklah ia tunaikan dua raka’at shalat, sebelum ia duduk.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[75], Muslim[76], Ahmad[77], An-Nasâ-iy[78] dan Mâlik[79]). Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: fa l yushalli rak’ataini (maka hendaklah shalat dua raka’at).
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ
“Apabila telah di-iqamah-kan shalat, maka tidak ada shalat kecuali yang diwajibkan.” (Dikeluarkan oleh Muslim[80], Ahmad[81], Ibnu Mâjjaĥ[82], Ad-Darâmiy[83], Abû Dâwûd[84] dan An-Nasâ-iy[85]).
# Sesudah menunaikan shalat tahiyyatul masjid, dan shalat fardhu belum diserukan, berdzikirlah dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Firman Allâh ta'ala:
فِى بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَلِ رِجَالٌ
“Bertasbih kepada Allâh para Rijâl di masjid-masjid yang telah diperintahkan-Nya untuk dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.” (An-Nûr 36-37).
Apabila adzan dan iqamah diperdengarkan, hentikanlah semua aktifitas itu, dan jawablah seruan adzan atau iqamah, lalu di penghujungnya memanjatkan do’a. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Apabila kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh Muadzdzin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâ-riy[86], Muslim[87], Ahmad[88], Abû Dâwûd[89], At-Turmudziy[90], An-Nasâ-iy[91] dan Mâlik[92]).
Dan menurut keterangan dari Abû Umâmah t:
أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِى اْلإِقَامَةَ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا وَقَالَ فِى سَائِرِ اْلإِقَامَةِ
“Adalah Bilâl menyerukan iqamah. Maka, tatkala sampai pada seruan qad qâmati sh-shalâh, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: aqâmahâ llâhu wa adâmahâ; dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab seluruh seruan iqamah.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[93]). Menurut Al-Mundziriy, dalam sanad hadîts ini ada orang yang majhul dan Syahr bin Hausyab sendiri diperselisihkan statusnya.
Antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab bagi do’a, karena itu panjatkanlah do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat, dan jika tidak ada keperluan yang mendesak, tetaplah di tempat, jangan keluar dari Masjid. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ واْلإِقَامَةِ. قَالُوْا فَمَاذَا نَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ سَلُوا اللهَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak. Mereka (para shahabat yang mendengar sabda beliau e itu pun) bertanya: Apa yang kami mohonkan, Ya Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam? Jawab Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam: Mohonlah kepada Allâh keafiaatan di dunia dan akhirat.” (Bagian pertamanya dikeluarkan oleh Ahmad[94], Abû Dâwûd[95], At-Turmudziy[96] dan An-Nasâ-iy[97]; sedangkan tambahan pertanyaan: fa mâ dzâ naqûlu dan jawabannya dikeluarkan oleh At-Turmudziy[98]). Menurut At-Turmudziy, hadîts ini hasan, dan tambahan tersebut dari yang disampaikan oleh Yahyâ bin Al-Yamâni.
مَنْ أَدْرَكَهُ اْلأَذَانُ فِى الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ وَهُوَ لاَ يُرِيدُ الرّجْعَةَ فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Barangsiapa yang telah berada di Masjid mendengar adzan, lalu ia keluar bukan karena suatu keperluan mendesak, dan tidak bermaksud kembali lagi, maka ia seorang Munâfiq.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd[99]). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjaĥ fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa Ibnu Abî Farwaĥ dan ‘Abdu l-Jabbâr bin ‘Umar yang terdapat dalam sanad hadîts ini, dhaîf. Namun demikian, Ath-Thabrâniy dalam Al-Wasith meriwayatkan hadîts yang semakna dengan ini melalui perawi-perawi yang shahîh lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: Koleksi Hadits-Hadits Hukum 2 (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2001) “Masalah 196: Keluar Mesjid Sesudah Azan Dikumandangkan”, h.203.
# Sesudah menunaikan shalat shubh berjama’ah, hingga matahari terbit isi dengan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
لأَنْ أقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ
“Sungguh dudukku bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allâh sejak dari shalat shubh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada membebaskan empat puluh budak keturunan Ismâ’îl.” (Dikeluarkan oleh Ahmad[100] dan Abû Dâwûd[101]). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts Abû Dâwûd ini isnadnya jayyid. Ahmad meriwayatkannya dengan lafaz: adzkaro llâha wa ukabbiruhu wa uhammiduhu wa usabbihuhu wa uhalliluhu (berdzikir kepada Allâh dan bertakbir, bertahmid, bertasbih serta bertahlil kepada-Nya), tanpa menyebut lafaz: min shalâti l-ghadât.
Kemudian, hingga matahari naik setengah tombak, sehingga jelas benderang cahayanya (kira-kira 3 jam setelah terbitnya), isilah waktu dengan 4 hal: (1) Meneruskan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur, (2) menuntut Ilmu, (3) melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan sesama dan membahagiakan orang-orang beriman serta turut aktif dalam berbagai usaha meninggikan Kalimatillâh di tengah masyarakat, dan (4) mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ وَلاَ حِجَابً يَحْجُبُهُ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali kelak Allâh akan berbicara kepadanya tanpa penerjemah dan tanpa hijab yang menutupinya. Lalu ia berpaling ke sisi kanannya, maka tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Begitu pula ketika ia berpaling ke sisi kirinya, tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Dan ketika ia berpaling ke muka, maka tidak ada yang ia lihat selain Neraka yang tepat berada di hadapan wajahnya. Karena itu, hindarilah Neraka itu oleh kalian walaupun dengan sebiji kurma dan kalimat thayyibah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriy[102], Muslim[103], Ahmad[104], Ibnu Mâjjah[105] dan At-Turmudziy[106]). Ini gabungan lafaz dari Muslim dan Al-Bukhâriy. Ahmad, Ibnu Mâjjaĥ dan At-Turmudziy meriwayatkannya dengan lafaz: mani s-tathâ’a min kum an yaqiya wajhahu hurri n-nâra walaw bi syiqqin tamratin wa bi kalimatin thayyibatin fa l yaf’al (barangsiapa sanggup di antara kalian untuk melindungi wajahnya dari panas api Neraka, walau hanya dengan sebiji korma dan dengan kalimah thayyibah, maka lakukanlah). At-Turmudziy menilai hadîts mengenai ini yang diriwayatkannya, hasan shahîh.
Kamis, Agustus 21, 2008
Selasa, Agustus 05, 2008
Tuhannya Mengecil
Ditulis Oleh : Amri Knowledge Entrepreneur (dalam CyberMQ.com)
Hidup adalah pembanding saja, jadi kalau salah membandingkan, kebahagiaan kita akan hilang. Contoh sederhana adalah Amri sangat tinggi kalau dibandingkan dengan anak yang usia dua tahun. Tapi kalau Amri dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi, maka Amri akan menjadi pendek. Begitu juga kulit Amri, akan terlihat putih kalau dibandingkan dengan beberapa temen dari negara tertentu, namun suatu ketika rapat dengan beberapa negara tertentu yang kulitnya sangat putih, maka saat itu Amri terlihat sangat hitam. Bahkan ketika foto bersama setelah rapat itu, dari semua peserta rapat, Amri paling hitam. Pada waktu itu, posisi fotonya ditengah, jadi Amri terlihat seperti tembok pemisah antara blok kanan dan blok kiri.
Begitu juga kehidupan, terutama yang berkaitan dengan ketenangan hati dalam menghadapi hidup, sangat tergantung pada bagaimana kita membandingkan. Kalau salah membandingkan, maka siap-siap saja kita akan tidak pernah bahagia. Kemudian timbul pertanyaan, ”Siapakah pembanding” yang menyebabkan kita akan selalu dalam ketentraman hati?. Jawabnya sangat sederhana, yaitu: ”Tuhan kita tidak boleh mengecil”. Maksudnya adalah, meletak Tuhan dalam hati keimanan kita menjadi Tuhan Maha Besar. Ketika Tuhan, sudah Maha Besar dalam hati kehidupan kita, maka apun permasalahan kehiduan kita akan menjadi sangat lapang.
Ketika kami kedatangan tamu, kebetulan beliau penghasilannya sangat banyak dan berlimpah, sebab semua fasilitas keluarganya tercukupi oleh perusahaan, maka beliau bisa tersenyum dengan lebar, berjalannya sangat gagah, berbicaranya penuh optimistis dan lain sebagainya. Kemudian dua tahun berikutnya, perusahaan tempat dia bekerja bangkrut, sehingga temen saya ini gajinya harus dikurangi sangat drastis dan bahkan mau dirumahkan, maka saat itu beliau juga sering kerumah dengan wajah terlihat 10 tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Sejak saat itu, beliau tidak pernah bahagia, tidak pernah optimis, wajah ketakutan seperti dikejar perampok. Ini terjadi karena Tuhannya mengecil. Yaitu secara tidak tersadarai, dirinya teracuni oleh bisikan kehidupan ”kalau penghasilan mengecil, dirinya akan kesulitan menghadapi hidup”.Padahal, gaji tidak sama dengan rizki.
Seorang kemantin baru, terlihat bahagia karena melihat pasangannya terlihat tampan dan cantik. Dua-duanya bekerja dengan penghasilan yang sangat cukup. Lima tahun berikutnya, karir suami sangat melejit, demi kebaikan perkembangan anak-anaknya, maka diputuskan pihak istri tidak bekerja. Setelah karir semakin melejit, dan sering melihat kehidupan lebih luas termasuk banyak wanita karir yang mengelilingnya, maka godaan setan tidak mampu dia tahan. Mulailah, membandingkan orang-orang yang disekelilingnya terlihat sangat cantik dibanding dengan istrinya yang dirumah. Ketika itu, Tuhannya mengecil, dan selalu membandingkan istrinya dengan orang-orang yang ada disekelilingnnya. Habislah kebahagiaannya kehiduannya.
Begitu juga sebaliknya, sekarang banyak tren baru, para istri karir, minta diceraikan oleh suaminya, sebab setelah dirinya berkarir melejit yang kebetulan pihak suami tidak begitu melejit dan bahkan penghasilannya berkurang, maka banyak para istri yang merasa bahwa keluarganya dipimpin oleh seorang suami yang kurang smart, kurang visioner dan lain sebagainya. Mulai saat itu, banyak wanita karir yang mulai disibukkan dengan pekerjaan baru, bukan hanya pergi ke kantor tapi juga pergi ke pengadilan untuk minta cerai. Ini terjadi karena, Tuhan dalam hatinya sudah mulai mengecil.
Sahabat ....
Hidup adalah pembanding, kalau salah dalam membandingkan, maka kehidupan kita tidak akan pernah tenteram. Masalah-masalah kecil akan terlihat sangat besar sebab ”Tuhan dalam hatinya” mulai mengecil. Namun bagi orang yang meletakkan ”Tuhan dalam hatinya” selalu Maha Besar, maka permasalahan apapun yang dihadapi dalam kehidupan akan terlihat sangat kecil. Akibat positifnya, kita akan selalu optimis dalam menghadapi kehidupan, apapun permasalahannya.
Hidup adalah pilihan pembanding, salah membandingkan siap-siap saja tidak pernah bahagia. Pembanding yang abadi adalah ”Tuhan Maha Besar”. Berani menghadapi metode pembanding yang benar !!! Bagaimana pendapat sahabat ???
Masrukhul Amri: Seorang Knowledge Entrepreneur-pengusaha gagasan, bertempat tinggal di hp. 0812-2329518, Aktivitas sehari-hari sebagai Konsultan Manajemen Stratejik-Alternatif dan Director The Life University; Reengineering Mindsets - Unlocking Potential Power. Spesialis konsultasi alternatif di beberapa perusahaan nasional dan multi nasional MBA-Main Bersama Amri di CyberMQ dan dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan luar Bandung. Mottonya adalah mari sama-sama belajar menjadi yang terbaik. Website http://amri.web.id http:/masamri.multiply.com e-mail : amri{at}mq{dot}
Hidup adalah pembanding saja, jadi kalau salah membandingkan, kebahagiaan kita akan hilang. Contoh sederhana adalah Amri sangat tinggi kalau dibandingkan dengan anak yang usia dua tahun. Tapi kalau Amri dibandingkan dengan orang yang lebih tinggi, maka Amri akan menjadi pendek. Begitu juga kulit Amri, akan terlihat putih kalau dibandingkan dengan beberapa temen dari negara tertentu, namun suatu ketika rapat dengan beberapa negara tertentu yang kulitnya sangat putih, maka saat itu Amri terlihat sangat hitam. Bahkan ketika foto bersama setelah rapat itu, dari semua peserta rapat, Amri paling hitam. Pada waktu itu, posisi fotonya ditengah, jadi Amri terlihat seperti tembok pemisah antara blok kanan dan blok kiri.
Begitu juga kehidupan, terutama yang berkaitan dengan ketenangan hati dalam menghadapi hidup, sangat tergantung pada bagaimana kita membandingkan. Kalau salah membandingkan, maka siap-siap saja kita akan tidak pernah bahagia. Kemudian timbul pertanyaan, ”Siapakah pembanding” yang menyebabkan kita akan selalu dalam ketentraman hati?. Jawabnya sangat sederhana, yaitu: ”Tuhan kita tidak boleh mengecil”. Maksudnya adalah, meletak Tuhan dalam hati keimanan kita menjadi Tuhan Maha Besar. Ketika Tuhan, sudah Maha Besar dalam hati kehidupan kita, maka apun permasalahan kehiduan kita akan menjadi sangat lapang.
Ketika kami kedatangan tamu, kebetulan beliau penghasilannya sangat banyak dan berlimpah, sebab semua fasilitas keluarganya tercukupi oleh perusahaan, maka beliau bisa tersenyum dengan lebar, berjalannya sangat gagah, berbicaranya penuh optimistis dan lain sebagainya. Kemudian dua tahun berikutnya, perusahaan tempat dia bekerja bangkrut, sehingga temen saya ini gajinya harus dikurangi sangat drastis dan bahkan mau dirumahkan, maka saat itu beliau juga sering kerumah dengan wajah terlihat 10 tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Sejak saat itu, beliau tidak pernah bahagia, tidak pernah optimis, wajah ketakutan seperti dikejar perampok. Ini terjadi karena Tuhannya mengecil. Yaitu secara tidak tersadarai, dirinya teracuni oleh bisikan kehidupan ”kalau penghasilan mengecil, dirinya akan kesulitan menghadapi hidup”.Padahal, gaji tidak sama dengan rizki.
Seorang kemantin baru, terlihat bahagia karena melihat pasangannya terlihat tampan dan cantik. Dua-duanya bekerja dengan penghasilan yang sangat cukup. Lima tahun berikutnya, karir suami sangat melejit, demi kebaikan perkembangan anak-anaknya, maka diputuskan pihak istri tidak bekerja. Setelah karir semakin melejit, dan sering melihat kehidupan lebih luas termasuk banyak wanita karir yang mengelilingnya, maka godaan setan tidak mampu dia tahan. Mulailah, membandingkan orang-orang yang disekelilingnya terlihat sangat cantik dibanding dengan istrinya yang dirumah. Ketika itu, Tuhannya mengecil, dan selalu membandingkan istrinya dengan orang-orang yang ada disekelilingnnya. Habislah kebahagiaannya kehiduannya.
Begitu juga sebaliknya, sekarang banyak tren baru, para istri karir, minta diceraikan oleh suaminya, sebab setelah dirinya berkarir melejit yang kebetulan pihak suami tidak begitu melejit dan bahkan penghasilannya berkurang, maka banyak para istri yang merasa bahwa keluarganya dipimpin oleh seorang suami yang kurang smart, kurang visioner dan lain sebagainya. Mulai saat itu, banyak wanita karir yang mulai disibukkan dengan pekerjaan baru, bukan hanya pergi ke kantor tapi juga pergi ke pengadilan untuk minta cerai. Ini terjadi karena, Tuhan dalam hatinya sudah mulai mengecil.
Sahabat ....
Hidup adalah pembanding, kalau salah dalam membandingkan, maka kehidupan kita tidak akan pernah tenteram. Masalah-masalah kecil akan terlihat sangat besar sebab ”Tuhan dalam hatinya” mulai mengecil. Namun bagi orang yang meletakkan ”Tuhan dalam hatinya” selalu Maha Besar, maka permasalahan apapun yang dihadapi dalam kehidupan akan terlihat sangat kecil. Akibat positifnya, kita akan selalu optimis dalam menghadapi kehidupan, apapun permasalahannya.
Hidup adalah pilihan pembanding, salah membandingkan siap-siap saja tidak pernah bahagia. Pembanding yang abadi adalah ”Tuhan Maha Besar”. Berani menghadapi metode pembanding yang benar !!! Bagaimana pendapat sahabat ???
Masrukhul Amri: Seorang Knowledge Entrepreneur-pengusaha gagasan, bertempat tinggal di hp. 0812-2329518, Aktivitas sehari-hari sebagai Konsultan Manajemen Stratejik-Alternatif dan Director The Life University; Reengineering Mindsets - Unlocking Potential Power. Spesialis konsultasi alternatif di beberapa perusahaan nasional dan multi nasional MBA-Main Bersama Amri di CyberMQ dan dosen tamu di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan luar Bandung. Mottonya adalah mari sama-sama belajar menjadi yang terbaik. Website http://amri.web.id http:/masamri.multiply.com e-mail : amri{at}mq{dot}
Langganan:
Komentar (Atom)
