Pada tahun132 H/750 M, keturunan bani Umayyah ditumpas habis dan menandai berkahirnya dinasti tersebut. Hanya Abdurrahman, satu-satunya keturunan bani Umayah yang berhasil melarikan diri ke Andalusia dan mendirikan dinasti Umayyah II di daratan Eropa tersebut. Sejalan dengan pesatnya perkembangan Islam di Asia dan Afrika, Islam juga menyebar ke Eropa. Yaitu melalui tiga jalan sebagai berikut.
1. Jalan barat, yakni dilakukan dari Afrika Utara melalui Semenanjung Iberia di bawah pimpinan thariq bin ziyad (711 M). Bahkan, tentara Islam dapat melewati Pegunungan Pirenia yang akhirnya ditahan oleh tentara perancis di bawah pimpinan karel martel di kota poitiers (732 M). Akhirnya, pemerintahan Khilafah Umayyah memipmpin di semenanjung Iberia yang dikenal dengan bani Umayah II (711 M-1492 M) dengan ibukotanya Cordoba.
2. Jalan tengah, yakni dilakukan dari Tunisia melalui Sisilia menuju sepenanjung Apenina. Islam dapat menduduki Sisilia dan Italia selatan, tetapi dapat direbut kembali oelh bangsa Nordia pada abad ke-11
3. Jalan timur, dimana pada tahun 1453, turki dibawah pimpinan Sultan Muhammad II berhasil menaklukkan Byzantium dengan terlebih dahulu menyerang Konstantinopel dari arah belakang yakni laut hitam sehingga mengejutkan tentara byzantium timur. Dari Byzantium, tentara turki usmani terus melakukan perlawanan sampai ke kota Wina di Austria. Setelah itu, tentara Turki Usmani mundur kembali ke Semenanjung Balkan dan menguasai daerah ini selama kurang lebih empat abad. Baru pada abad ke-19, daerah ini berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Akan tetapi, kota konstantinopel masih tetap dikuasai dinasty Umayyah dan berubah menjadi Istanbul
A. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Sesungguhnya Eropa banyak berhutang budi pada Islam karena banyak sekali peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa, seperti dari spanyol, perang salib dan sisilia. Spanyol sendiri merupakan tempat yang paling utam bagi Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan. Beberpa perkembangan Islam antara lain sebagai berikut.
1. Bidang politik
Terjadi balance of power karena di bagian barat terjadi permusuhan antara bani Umayyah II di Andalusia dengan kekaisaran karoling di Perancis, sedangkan di bagian timur terjadi perseteruan antara bani Abbasyah dengan kekaisaran Byzantium timur di semenanjung Balkan. Bani Abbasyah juga bermusuhan dengan Bani Umayyah II dalam perebutan kekuasaan pada tahun 750 M. Kekaisaran Karoling bermusuhan dengan kekaisaran Byzanium timur dalam memperebutkan Italia. Oleh karena itu terjadilah persekutuan antara Bani Abbasyah dengan kekaisaran Karoling, sddangkan bani Umayyah II bersekutu dengan Byzantium Timur. Persekutuan baru berakhir setelah terjadi perang salib (1096-1291)
1. Bidang Sosial Ekonomi
Islam telah menguasai Andalusia pada tahun 711 M dan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Keadaan ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan Eropa. Islam berarti telah menguasai daerah timur tengah yang ketika itu menjadi jalur dagan dari Asia ke Eropa. Saat itu perdagangan ditentukan oleh negara-negara Islam. Hal ini menyebabkan mereka menemukan Asia dan Amerika
1. Bidang Kebudayaan
Melalui bangsa Arab (Islam), Eropa dapat memahami ilmu pengetahuan kuno seperti dari Yunani dan Babilonia. Tokoh tokoh yang mempengaruhi ilmu pengetahuan dan kebudayaan saat itu antara lain sebagai berikut.
a. Al Farabi (780-863M)
Al Farabi mendapat gelar guru kedua (Aristoteles digelari guru pertama). Al Farabi mengarang buku, mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku karya aristoteles
b. Ibnu Rusyd (1120-1198)
Ibnu Rusyd memiliki peran yang sangat besar sekali pengaruhnya di Eropa sehingga menimbulkan gerakan Averoisme (di Eropa Ibnu Rusyd dipanggil Averoes) yang menuntut kebebasan berfikir. Berawal dari Averoisme inilah lahir roformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M di Eropa. Buku-buku karangan Ibnu Rusyd kini hanya ada salinannya dalam bahasa latin dan banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan Eropa dan Amerika. Karya beliau dikenal dengan Bidayatul Mujtahid dan Tahafutut Tahaful.
c. Ibnu Sina (980-1060 M)
Di Eropa, Ibnu Sina dikenal dengan nama Avicena. Beliau adalah seorang dokter di kota Hamazan Persia, penulis buku-buku kedokteran dan peneliti berbagai penyakit. Beliau juga seorang filsuf yang terkenal dengan idenya mengenai paham serba wujud atau wahdatul wujud. Ibnu Sina juga merupakan ahli fisika dan ilmu jiwa. Karyanya yang terkenal dan penting dalam dunia kedokteran yaitu Al Qanun fi At Tibb yang menjadi suatu rujukan ilmu kedokteran
4. Bidang Pendidikan
Banyak pemuda Eropa yang belajar di universitas-unniversitas Islam di Spanyol seprti Cordoba, Sevilla, Malaca, Granada dan Salamanca. Selama belajar di universitas-universitas tersebut, mereka aktif menterjemahkan buku-buku karya ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah mereka pulang ke negerinya, mereka mendirikan seklah dan universitas yang sama. Universitas yang pertama kali berada di Eropa ialah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1213 M dan pada akhir zaman pertengahan di Eropa baru berdiri 18 universitas. Pada universitas tersebut diajarkan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dari universitas Islam seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti dan ilmu filsafat
Banyak gambaran berkembangnya Eropa pada saat berada dalam kekuasaan Islam, baik dalm bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi, kebudayaan, ekonomi maupun politik. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut.
1.
1. Seorang sarjana Eropa, petrus Alfonsi (1062 M) belajar ilmu kedokteran pada salah satu fakultas kedokteran di Spanyol dan ketika kembali ke negerinya Inggris ia diangkat menjadi dokter pribadi oleh Raja Henry I (1120 M). Selain menjadi dokter, ia bekerja sama dengan Walcher menyusun mata pelajaran ilmu falak berdasarkan pengetahuan sarjan dan ilmuwan muslim yang didapatnya dari spanyol. Demikin juga dengan Adelard of Bath (1079-1192 M) yang pernah belajar pula di Toledo dan setelah ia kembali ke Inggris, ia pun menjadi seorang sarjan yang termasyhur di negaranya
2. Cordoba mempunyai perpustakaan yang berisi 400.000 buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan
3. Seorang pendeta kristen Roma dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M) mempelajari bahasa Arab di Paris (1240-1268 M). Melalui kemampuan bahasa Arab dan bahasa latin yang dimilikinya, ia dapat membaca nasakah asli dan menterjemahkannya ke dalam berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pasti. Buku-buku asli dan terjemahan tersebut dibawanya ke Universitas Oxford Inggris. Sayangnya, penerjemahan tersebut di akui sebagai karyanya tanpa menyebut pengarang aslinya. Diantara bukuyang diterjemahkan antara lain adalah Al Manzir karya Ali Al Hasan Ibnu Haitam (965-1038 M). Dalam buku itu terdapat teori tentang mikroskop dan mesiu yang banyak dikatakan sebagai hasil karya Roger Bacon.
4. Seorang sarjana berkebangsaan Perancis bernama Gerbert d’Aurignac (940-1003 M) dan pengikutnya, Gerard de Cremona (1114-1187 M) yang lahir di Cremona, Lombardea, Italia Utara, pernah tinggal di Toledo, Spanyol. Dengan bantuan sarjana muslim disana , ia berhasil menerjemahkan lebih kurang 92 buah buku ilmiah Islam ke dalam bahasa latin. Di antara karya tersebut adalah Al Amar karya Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ar Razi (866-926 M) dan sebuah buku kedokteran karangan Qodim Az Zahrawi serta buku Abu Muhammad Al baitar berisi tentang tumbuhan. Sarjana-sarjana muslim tersebut mengajarkan penduduk non muslim tanpa membeda-bedakan agama yang mereka anut
5. Apabila kerajaan-kerajaan non muslim mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam, maka yang terjadi adalah pembumihangusan kebudayaan Islam dan pembantaian kaum muslim. Akan tetapi, apabila kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai kerajaan non muslim, maka penduduk negeri tersebut diperlakukan dengan baik. Agama dan kebudayaan merekapun tidak terganggu
6. Banyak sarjana-sarjana muslim yang berjasa karena telah meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan, bahkan karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa meskipun ironisnya diakui sebagai karya mereka sendiri.
Akibat atau pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan Islam ini menimbulkan kajian filsafat Yunani di Eropa secara besar-besaran dan akhirnya menimbulkan gerakan kebangkitan atau renaissans pada abad ke-14. berkembangnya pemikiran yunani ini melalui karya-karya terjemahan berbahasa arab yang kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Disamping itu, Islam juga membidani gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan aufklarung atau pencerahan pada abad ke-18 M.
Nasib kaum muslim di Spanyol sepeninggal Abu Abdullah Muhammad dihadapakan pada beberapa pilihan antara lain masuk ke dalam kristen atau meninggalkan spanyol. Bangunan-bangunan bersejarah yang dibangun oleh Islam diruntuhkan dan ribuan muslim mati terbunuh secara tragis. Pada tahun 1609 M, Philip III mengeluarkan undang-undang yang berisi pengusiran muslim secara pakasa dari spanyol. Dengan demikian, lenyaplah Islam dari bumi Andalusia, khusunya Cordoba yang menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di barat sehingga hanya menjadi kenangan.
B. Hikmah Sejarah Perkembangan Islam pada Abad Pertengahan
Ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari sejarah perkembangan Islam pada abad pertengahan, diantaranya sebagai berikut.
1. Meskipun Bani Umayyah telah dihancurkan oleh Bani Abbasyah, perluasan wilayah Islam masih terus dilanjutkan sehingga dengan demikian kebudayaan Islam tetap berkembang di Eropa. Hal tersebut menandakan bahwa semangat kaum muslim dalam meraih cita-cita sangat tinggi sehingga melahirkan persatuan dan kesatuan yang sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal tersebut. Hal ini terbukti dalam setiap perluasan wilayah, kaum muslim mampu menguasai Spanyol dalam waktu sekitar delapan abad (711-1492 M) dan menguasai Semenanjung Balkan sekitar 4 abad (1453-1918 M)
2. Niat yang tulus ketika melakukan sesuatu karena Allah sangat dibutuhkan, ketika niat telah berubah menjadi orientasi terhadap kekuasaan atau harta, maka dengan cepat kehancuran akan menimpa. Hal tersebut telah banyak dibuktikan pada peristiwa-peristiwa runtuhnya daulah bani Umayyah, bani Abbasyah, dan bani Umayyah II di Andalusia serta kerajaan atau pemerintahan lain dimanapun berada
3. Penaklukan wilayah yang demikian luas dilakukan oleh kaum muslim saat itu berdasarkan pada permintaan penduduk suatu negara yang ditindas oleh pemimpin mereka sendiri. Hal tersebut dikarenakan penduduknya berada dibawah pemerintahan yang zalim atau karena kerajaan tersebut telah mengganggu wilayah-wilayah Islam. Oleh karena itu, kaum muslim telah bertindak sebagai pembebas masyarakat suatu negara dari tindakan pemerintah mereka yang sewenag-wenang dan bukan bertindak sebagai penjajah atas suatu negara. Penduduk yang dibebaskan tetap diberikan keleluasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan mereka masing-masing meskipun upaya penyebaran agama Islam senantiasa dilakukan.
4. Islam memiliki kontribusi yang sangat besar dalam upaya menyebarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Eropa memiliki kemajuan saat ini salah satunya disebabkan jasa sarjana-sarjana muslim yang telah menjadi mata rantai perkembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat Eropa saat itu.
C. Penghayatan terhadap Sejarah Kebudayaan Islam pada Abad Pertengahan
Ada banyak perilaku yang pat diterapkan sebagai cerminan penghayatan terhadap sejarah perkembangan Islam di abad pertengahan yakni antara lain sebagai berikut.
1. Sejarah merupakan pelajaran bagi manusia agar di kemudian hari perilaku atau perbuatan kaum muslim yang membuat kaum muslim dan umat manusia lainnya menderita tidqak terulang lagi. Lemahnya persatuan umat Islam dapat dijadikan celah pihak lain untuk memundurkan peran kaum muslim, baik dari kancah perekonomian maupun politik. Oleh karena itu, umat Islam hendaknya mampu mengubah tata kehidupannya yang seimbang antara kepentingan duniawi dan ukhrawinya serta senantiasa meningkatkan wawasan keislamannya melalui rujukan Al Qur’an dan Hadis.
2. Umat Islam harus mengambil pelajaran dari negara barat. Mereka semula jauh tertinggal dibandingkan dengan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan umat Islam, tetapi kemudian mereka dapat mengejar kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan umat Islam. Invasi Islam terhadap Eropa seperti andalusia dan Semenanjung Balkan selama berabad-abad telah memotifasi barat untuk mempelajari ilmu pengetahuan, tekhnologi dan kebudayaannya
3. Keberadaan cendekiawan pada masa perkembangan Islam abad pertengahan seperti Ibnu Sina, Al Farabi, dan Ibnu Rusyd haurs menjadi inspirasi dan inovasi bagi uamt Islam untuk terus mempelajari berbagai disiplin ilmu demi melanjutkan cita-cita perjuangan tokoh-tokoh muslim pada abad pertengahan tersebut sehingga Islam mampu membawa rahmat bagi seluruh dunia.
D. Pengaruh Sejarah Islam Abad Pertengahan terhadap Umat Islam Indonesia
Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memeluk agama hindu dan budha disamping kepercayaan nenek moyang mereka yang menganut animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk ke Indonesia, Islam berpengaruh besar baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi,maupun di bidang kebudayaan yang antara lain seperti di bawah ini.
1. Pengaruh Bahasa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab. Bahasa Arab sudah banayk menyatu dalam kosa kata bahasa Indonesia, contohnya kata wajib, fardu, lahir, bathin, musyawarah, surat, kabar, koran, jual, kursi dan masker. Dalam hal nama juga banyak dipakai nama-nama yang berciri Islam (Arab) seperti Muhammad, Abdullah, Anwar, Ahmad, Abdul, Muthalib, Muhaimin, Junaidi, Aminah, Khadijah, Maimunah, Rahmillah, Rohani dan Rahma.
1. Pengaruh Budaya, Adat Istiadat dan Seni
Kebiasaan yang banyak berkembang dari budaya Islam dapat berupa ucapan salam, acara tahlilan, syukuran, yasinan dan lain-lain. Dalam hal kesenian, banyak dijumpai seni musik seperti kasidah, rebana, marawis, barzanji dan shalawat. Kita juga melihat pengaruh di bidang seni arsitektur rumah peribadatan atau masjid di Indonesia yang banayak dipengaruhi oleh arsitektur masjid yang ada di wilayah Timur Tengah.
1. Pengaruh dalam Bidang Politik
Pengaruh inin dapat dilihat dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak, Banten dan Tidore
1. Pengaruh di bidang ekonomi
Daerah-daerah pesisir sering dikunjungi para pedagang Islam dari Arab, Parsi,dan Gujarat yang menerapkan konsep jual beli secara Islam. Juga adanya kewajiban membayar zakat atau amal jariyah yang lainnya, seperti sedekah, infak, waqaf, menyantuni yatim, piatu, fakir dan miskin. Hal itu membuat perekonomian umat Islam semakin berkembang
Senin, Oktober 20, 2008
ISLAM DI INDONESIA
Masuknya Islam di Indonesia, Pada awal abad VII M, Allah telah mengutus nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan ajaran Islam. Karena petunjuk Allah lewat kelembutan nabi dalam penyampaian wahyu, maka Islam segera dapat tersebar dan diterima oleh sebagian penduduk dunia. Pemeluk agama Islam pertama adalah bangsa Arab, karena Islam diturunkan ditengah-tengah mereka. Kemudian didorong oleh panggilan suci maka sebagian penduduk Arab berusaha menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Mereka membawa Islam ke Indonesia dengan jalan damai dan berangsur-angsur, bukan melalui jalan paksaan atau peperangan maupun kekerasan. Sebagian ahli sejarah yang lain mengatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Islam di Aceh. Tetapi pendapat ini rasanya agak terlambat karena di Leran, Jawa Timur ada kuburan dengan batu nisan bertuliskan Fatimah binti Maimun dari abad ke 12 M.
Menurut sebagian ahli sejarah, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 atau ke 8 Masehi atau abad pertama atau kedua hijriyah melalui dua jalur, yakni :
Jalur utara dengan rute : Arab (Mekkah dan Madinah) – Damaskus – Baghdad – Gujarat (pantai barat India) – Srilanka – Indonesia
Jalur selatan dengan rute : Arab (Mekkah dan Madinah) – Yaman – Gujarat (pantai barat India) – Srilanka – Indonesia
Sebelum Islam masuk di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha . Kerajaan Hindu yang ada ( abad ke 7-12 M) sebagai berikut :
1. Kutai di Kalimantan
2. Taruma Negara di Jawa Barat
3. Mataram Hindu atau yang disebut dengan kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah
4. Isana di Jawa Timur
5. Kediri di Jawa Timur
6. Galuh di daerah Galuh, Ciamis Jawa Barat
7. Pajajaran berpusat di Pakuan Pajajaran, sebelah barat sungai Citarum Jawa Barat
8. Warmadewa atau Udayana di Bali
Kerajaan Budha yang ada adalah :
1. Kalingga di Jawa Tengah
2. Syailendra di Jawa Timur
B. Penyebaran Islam di Indonesia
Secara garis besar penyebaran Islam terjadi melalui tiga cara :
1. Perdagangan
Pedagang muslim Arab selain berdagang mereka juga bertindak sebagai muballigh. Merka datang ke Indonesia lewat Gujarat dan Srilanka sehingga ada pengertian bahwa masuknya agama Islam dibawa oleh pedagang Gujarat yang sudah tidak asli lagi. Sesungguhnya yang terjadi adalah para pedagang Arab itu singgah di Gujarat dan menyampaikan ajaran Islam kemudian bersama-sama dengan penduduk Gujarat menuju ke Indonesia. Maka agama Islam yang berkembang di Indonesia masih asli dan menarik minat penduduk, mereka mengadakan penyesuaian dengan kebudayaan daerah.
2. Pernikahan
Para pedagang muslim itu ada yang menetap di Indonesia dan menikah dengan penduduk setempat. Sudah barang tentu mereka menjadi keluarga muslim dan penyebar agama Islam yang gigih.
C. Pembebasan Budak
Pada masa msuknya Islam di Indonesia, perbudakan masih berlaku. Banyak budak saudagar Hindu dan Budha yang dibeli oleh saudagar muslim kemudian dimerdekakan. Mereka masuk dalam keluarga muslim karena keadilan, maka tak segan mereka akhirnya menganut agama Islam.
Jelaslah Islam masuk ke Indonesia tanpa paksaan, bahkan dilandasi oelh cinta kasih dan damai. Agama Islam dapat diterima oleh sebagian penduduk Indonesia yang haus akan keadilan. Melalui ajaran tentang cinta kasih, perdamaian, persamaan tanpa membedakan kasta dan keadilan Islam dapat terus berkibar di Indonesia hingga kini.
Masuknya agam Islam ke Indonesia bukan hanya di satu lokasi dan dalam tempo yang sama, tapi tersebar di seluruh pelosok tanah air dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Misalnya :
1. Kota-kota pelabuhan di selat Malaka, diantaranya pantai Aceh bagian utara yang bernama Pasai. Pada abad VII Pasai merupakan kota pelabuhan internasional. Disinilah para pedagang (Arab, Gujarat, Tiongkok, dll) singgah, sehingga penyebaran Islam terjadi di Pasai
2. Pantai barat pulau Sumatra. Buktinya ialah dapat ditemukan perkampungan yang diduduki orang muslim pada abad ke VII. Juga di Barus (Tapanuli) ditemukkan makan Syeikh Mukaidin yang menurut catatan wafat pada tahun 670 M.
3. Jawa Timur. Di Leran ditemukan makam seorang muslimah bernama Fathimah binti Maimun yang wafat tahun 1101 M
4. Jawa Barat. Diketahui bahwa raja Pajajaran yang bernama Prabu Purwa menyerahkan tahta kepada adiknya yang bernama Prabu Munding Sari. Prabu Purwa mengembara ke India dan bertemu dengan pedagang muslim dari Arab. Beliau tertarik agama Islam dan pada tahun 1195 pergi haji dan terkenal dengan Haji Purwa. Kemudian beliau kembali ke Indonesia dan menyebarkan agama Islam di daerahnya.
D. Perkembangan Islam di Indonesia
1. Perkembangan Islam di Sumatra
Di Sumatra semasa abad XIII-XV M. Telah berdiri kerajaan Samudra Pasai dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan Samudra Pasai terletak di kampung Samudra di tepi sungai Pasai dan berdiri sejak tahun 1261 M. Raja-raja yang memerintah Samudra Pasai berturut-turut sebagai berikut :
1. Sultan Al Malikus Shaleh
2. Sultan Al Malikuz Zahir I
3. Sultan Al Malikuz Zahir II
4. Sultan Zainal Abidin
5. Sultan Iskandar
Adanya jalur perhubungan dengan Gujarat menyebabkan perdagangan Samudra Pasai mengalami perkembangan. Samudra Pasai telah mengadakan hubungan dengan Sultan Delhi di India. Tatkala Ibnu Bathutah diutus sultan Delhi ke China, ia singgah di Samudra Pasai terlebih dahulu dan sekembalinya dari China pulang ke Delhi juga singgah lagi di Samudra Pasai dan bertemu dengan sultan Malikuz Zahir sebagaimana diceritakan dalam bukunya Rihlah Ibnu Bathutah (perjalanan Ibnu Bathutah).
Di luar Samudra Pasai tepatnya di Jawa Timur telah berdiri suatu negara maritim yang besar ialah Majapahit. Majapahit tidak membiarkan tumbuhnya kekuatan di sekitar selat Malaka. Karena itu sekitar tahun 1350 M Samudra Pasai dibinasakan oleh armada Majapahit.
Hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka karena diduduki oleh Portugis, muncullah kerajaan baru di Sumatra yaitu Kerajaan Aceh pada abad XVI M
Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang memerintah tahun 1607-1636 M. Raja-raja yang memerintah Aceh semasa empat abad antar lain sebagai berikut :
a. Sultan Ali Al Mughayat Syah atau dikenal juga dengan Sultan Ibrahim
b. Sultah Salahuddin
c. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah
d. Sultan Husin
e. Sultan Zainil Abidin
f. Sultan Alauddin Mansyur Syah
g. Sultan Ali Ri’ayat Syah I
h. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah II
i. Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam
Usaha pertama yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim adalah memperkuat kedudukan kerajaan dan meyusun angkatan perang yang tangguh, bahkan mempunyai prajurit-prajurit yang berasal dari Turki, Arab, dan Abesinia.
Sepeninggal Sultan Ibrahim Aceh mengalami pasang surut. Pada zaman Sultan Iskandar Muda Aceh mengalami puncak kebesaran, meluas meliputi Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, Perak dan Nias. Sultan Iskandar Muda berhasil meletakkan dasar-dasar penyelenggaran pemerintahan yang dipergunakan oleh sultan-sultan berikutnya.
Kerajaan Aceh Pidie berdir sejak tahun 1507 M sebagai kerajaan Islam kedua setelah samudra Pasai. Dan Aceh baru dapat ditundukkan Belanda pada abad XIX M.Pada abad XII-XVII M Islam berangsur-angsur berkembang di Sumatra.
2. Perkembangan Islam di Jawa
Jalur perhubungan antara Pasai dan Malaka di satu pihak dan dengan Jawa di pihak lain sangat lancar. Banyak pedagang dari Jawa berdagang ke Pasai dan Malaka sambil berdakwah menyebarkan agama Islam. Bahkan banyak pula ulama datang ke Jawa untuk menyebarkan Islam di kota-kota yang masih dikuasai oleh kerajaan Hindu.
Gerakan penyiaran agama Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan dari jasa dan peranan para wali. Jumlah wali meskipun sebenarnya banyak tetapi yang diakui sampai sekarang adalah sembilan, dan dikenal dengan sebutan Wali Songo. Diantara wali sembilan ada yang hanya berdakwah sebagai penyiar agama, tetapi ada juga yang memegang peranan penting dalam bidang politik pemerintahan. Meraka hidup antara abad XIV-XVI M. Wali Songo tersebut adalah :
a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
b. Sunan Ampel
c. Sunan Bonang
d. Sunan Giri
e. Sunan Drajat
f. Sunan Kalijaga
g. Sunan Kudus
h. Sunan Muria
i. Sunan Gunung Jati
Dalam penyebaran agama Islam para wali mendirikan perguruan-perguruan untuk mengembleng santri-santri untuk menjadi manusia yang militan dan luas pengetahuan. Tetapi para wali itu dalam penyiaran agama Islam tidak kaku, melainkan bertindak sangat bijaksana. Bahkan mereka banyak menyesuaikan ajaran dengan tradisi dan kepercayaan rakyat yang dipimpinnya khusunya mengenai kesaktian-kesaktian.
Sekelumit tentang Wali Songo sebagai berikut :
1. Maulana Malik Ibrahim
Beliau dikenal dengan sebutan Maulana Maghribi, yang berasal dari Persia. Karena pusat kegiatannya di Gresik Surabaya maka terkenal dengan nama Sunan Gresik. Disinilah beliau memberi wejangan/pelajaran kepada para santri sebagai calon muballigh
1. Sunan Ampel
Nama kecilnya Raden Rahmat berayahkan orang Arab dan beribukan orang Campa, dilahirkan di Aceh tahun 1401 M dan wafat 1481 M, serta dimakamkan di desa Ampel. Karena itu terkenal sebagai Sunan Ampel
1. Sunan Bonang
Nama kecil Sunan Bonang adalah Makdum Ibrahim putera Sunan Ampel, lahir tahun 1465 M. Beliau mula-mula berguru kepada ayahnya sendiri. Kemudian merantau ke Pasai bersama Raden Paku untuk memperdalam ilmu agama Islam. Jasa beliau sangat besar dalam penyiaran agama Islam. Beliau pulalah yang mendidik Raden Patah. Beliau wafat tahun 1515 M.
1. Sunan Giri
Nama kecilnya adalah Raden Paku putera Maulana Ishak, yang menyebarkan agama Islam di Blambangan Jawa Timur. Beliaulah pelopor pemerintahan Giri.
1. Sunan Drajat
Nama kecil beliau adalah Syarifudin, putera Sunan Ampel juga adik Sunan Bonang. Dakwah beliau terutama dalam bidang sosial. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari Ternate dan Hitu Ambon.
Empat wali lainnya akan dibicarakan pada pembahasan tentang Kerajaan demak, karena mereka mempunyai hubungan dengan Demak.
3. Perkembangan Islam di Sulawesi.
Pelabuhan Jaratan dan Gresik pada abad XVI mempunyai arti penting dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam. Tidak jauh dari situ berdiamlah Sunan Giri, salah seorang wali songo yang cukup banyak jasanya dalam pemerintahan giri dan penyebaran agama Islam.
Sunan Giri menyelenggarakan pesantren yang banyak didatangi santri dari luar jawa seperti Ternate, Hitu dan lain-lain. Beliau mengirimkan murid-muridnya ke pulau Madura, Sulawesi, dan Nusa Tenggar. Para pedagang dan nelayan yang telah mendapatkan ajaran Islam, termasuk para pedagang dari Makasar dan Bugis.
Di Sulawesi pada abad XVI telah berdiri kerajaan Hindu Gowa dan Tallo, yang penduduknya tidak sedikit yang telah memeluk agama Islam karena hubungannya dengan kesultanan Ternate dalam rangka menghadapi Portugis. Pada permulaan abad XVII raja-raja Gowa dan Tallo telah masuk Islam, seperti raja Gowa Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin dan raja Tallo bergelar Sultan Abdullah.
Sumbaopu merupakan pelabuhan yang terbesar di belahan timur di Sulawesi Selatan. Masyarakat Sulawesi telah banyak yang menganut agama Islam dan bersikap rukun terhadap penganut agama lain. Orang-orang Portugis yang menganut agama Khatolik diberi kebebasan menjalankan agamanya.
4. Perkembangan Islam di Kalimantan
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ada disekitar abad V M di Kalimantan Timur telah ada kerajaan hindu yakni kerajaan Kutai. Sedangkan kerajaan-kerajaan Hindu yang lain adalah kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat, kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan.
Pada abad XVI Islam memasuki daerah kerajaan Sukadana. Bahkan pada tahun 1590 kerajaan Sukadana resmi menjadi kerajaan Islam, yang menjadi sultan pertamanya adalah sultan Giri Kusuma. Setelah itu digantikan oleh putranya Sultan Muhammad Syafiuddin. Beliau banyak berjasa dalam pengembangan agama Islam karena bantuan seorang muballigh bernama Syekh Syamsudin.
Di kalimantan Selatan pada abad XVI M masih ada beberapa kerajaan Hindu antara lain Kerajaan Banjar, Kerajaan Negaradipa, Kerajaan Kahuripan dan Kerajaan Daha. Kerajaan-kerajaan ini berhubungan erat dengan Majapahit.
Ketika Kerajaan demak berdiri, para pemuka agama di Demak segera mnyebarkan agama Islam ke Kalimantan Selatan. Raja Banjar Raden Samudra masuk Islam dan ganti nama dengan Suryanullah. Sultan Suryanullah dengan bantuan Demak dapat mengalahkan Kerajaan Negaradipa. Setelah itu agama Islam semakin berkembang di Kalimantan.
Diatas telah diutarakan, bahwa Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia dan sebagai kerajaan Hindu. Dengan pesatnya perkembangan Islam di Gowa, Tallo dan terutama Sombaopu, maka Islam mulai merembas ke daerah Kutai. Mengingat Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam maka para pedagang yang lalu lalang lewat selat Makasar juga singgah di Kutai. Sebagai muballigh mereka tidak menyianyiakan waktu untuk berdakwah. Islam akhirnya dapat memasuki Kutai dan tersebar di Kalimantan Timur mulai abad XVI.
5. Perkembangan Islam di Maluku dan pulau Sekitarnya.
Di Maluku Utara terdapat empat Kerajaan, yaitu : Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo yang saling berselisih dan bersaing. Terakhir Ternatelah yang memegang peranan penting dan menjadi bandar pusat perdagangan rempah-rempah.
Di muka telah disinggung, bahwa sebagian santri Sunan Drajat ada yang berasal dari Ternate dan Hitu. Karenanya Islam telah dikenal rakyat Ternate sejak abad XV M.
Hubungan dagang dengan Indonesia bagian barat khusunya dengan jawa berjalan lancar. Para pedagang selain berdagang juga berdakwah. Mereka yang sudah menerima Islam kemudian banyak dikirim ke Jawa Timur untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Raja Ternate yang pertama-tama memeluk Islam adalah Sultan Mahrum (1465-1468 M). Penggantinya adalah Sultan Zainal Abidin yang sangat besar jasanya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Maluku dan Irian, bahkan samapi ke Philipina. Raja Tidore kemudian masuk Islam dan mengganti nama menjadi Sultan Jamaludin. Demikian juga raja Jailolo masuk Islam dan selanjutnya mengganti nama menjadi Sultan Hasanudin. Selanjutnya raja Bacan pada tahun 1520 masuk Islam bernamakan Sultan Zainal Abidin.
Penyiaran Islam di Maluku, Sulawesi dan Jawa mengiktui alur perdagangan. Bahkan Sultan Giri berhasil mengikat perjanjian dengan raja di teluk Lombok, Sumbawa dan Bima untuk mengakui kekuasaan kerajaan Islam Giri.
Pada abad XVI perkembangan Islam di Indonesia agak terhambat dan menghadapi tantangan berat karena kedatangan Portugis pada tahun 1512 dan Spanyol pada tahun 1521 dengan membawa penyiaran agama Nasrani. Pada permulaan abad XVII Belanda dapat mengalahkan Portugis, setelah berperang bertahun-tahun di Ambon. Sementara itu kerajaan Ternate dan Tidore selalu bertentangan sehingga menjadi makin lemah dan tidak mampu membendung meluasnya VOC ke Maluku Utara. Belanda mulai menjajah Indonesia dimulai dari Maluku sejak menguasai Ambon pada tahun 1605.
Berangsur-angsur Belanda memperluas wilayahnya ke Barat, dan Makasar pada tahun 1669 dapat ditundukkan. Selanjutnya seluruh Indonesia, kecuali Aceh yang mampu bertahan sampai akhir abad XIX.
Dalam rangka mempertahankan wilayah dan kelangsungan pengembangan Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam tidak dengan mudah menyerah, bahkan mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga banyak berjatuhan pahlawan-pahlawan muslim, antara lain :
1. Sultan Iskandar Mahkota Alam dari Aceh
2. Sultan Agung dari Mataram
3. Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
4. Sultan Hasanudin dari Makasar
5. Sultan Babullah dari Ternate
6. Imam Bonjol dari Sumatra Barat
7. Teuku Umar dari Aceh
8. Pangeran Diponegoro
Perkembangan Islam tidak hanya tergantung pada raja-raja, tetapi perang para muballigh juga menetukan. Pada abad XVI muncul ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkil, Syekh Nuruddin Ar Raniri yang ketiganya dari Aceh dan Syekh Yusuf Tajul Khalwari dari Makasar.
Pada abad itu umat Islam menghadapi penjajah terutama dari Eropa dengan membawa agama Nasrani yang telah berpengalamn dalam Perang salib.
6. Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai Pusat Penyiaran Islam
Pada abad XVI di Jawa berdiri beberapa kerajaan Islam yang terkenal antara lain :
a. Kerajaan Demak
Dengan meninggalnya raja Hayam Wuruk, maka kerajaan Majapahit semakin merosot. Satu demi satu daerah kekuasaannya melepaskan diri dari Kerajaan Majapahit, termasuk Kerajaan Demak.
Menjelang berakhirnya abad XV Raden Patah, santri setia Sunan Bonang mengumumkan berdirinya Kerajaan Islam Demak, lepas dari ikatan kekuasaan Majapahit. Demak semula kerajaan agraris berpenghasilan utama beras, kemudian menjadi negara maritim. Demak menjadi bandar perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan Makasar yang akan dikirim ke Malaka. Demak menjadi lebih besar dan lebih penting diantara bandar-bandar pantai utara Jawa. Demak dengan mudah dapat mempersatukan kota-kota pesisir seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Kemudian Raden Patah diakui sebagai pimpinan dengan gelar Sultan. Kedudukan demak semakin penting setelah Malaka (tahun 1511) dikuasai oleh Portugis. Banyak pedagang-pedagang muslim memindahkan kegiatannya ke Demak. Sultan Demak diakui sebagai pimpinan umat Islam dalam menghadapi ancaman Portugis.
Sebagai negara Islam dan negara maritim. Demak siap bersaing dengan Portugis yang nyata-nyata membahayakan umat Islam. Demak menyusun angkatan laut yang tangguh dan berhasrat menghancurkan Portugis di kandangnya sendiri. Pada tahun 1512 armada Demak dibawah pimpinan Pati Unus bersama-sama dengan Aceh menyerang Malaka. Tetapi gagal karena dipukul mundur oleh Portugis.
Peninggalan sejarah yang masih tegak sampai sekarang adalah Masjid Agung Demak yang dibuatnya bersama para wali.
Raden Patah meninggal tahun 1518 dan digantikan kedudukannya oleh putranya yang bernama Muhammad Yunus yang terkenal dengan nama Pati Unus atau Pangeran Sebrang Lor dengan gelar Sultan Demak II. Beliau memerintah 1518-1521.
Sepeninggal Pati Unus kerajaan Demak dipegang oleh Pangeran Trenggono. Pada masa inilah Syekh Nurullah tiba di Demak dari Pasai. Kemudian dikawinkan dengan adik perempuan Sultan Trenggono dan diangkat menjadi panglima perang sehingga kedudukan Demak makin kokoh.
Pada masa Sultan Trenggono, Demak giat melakukan ekspansi ke timur dan barat. Hal ini dilakukan karena ancaman Portugis yang bersifat ekonomi dan agama. Dalam pengerahan aramadanya ke barat Fatahillah berhasil pula menduduki Banten dan menguasai Cirebon.
Pada masa kejayaan Demak Portugis dapat menduduki Sunda Kelapa atas ijin raja Pajajaran yang masih beragama Hindu. Oleh sultan Trenggono pendudukan Portugis dianggap sebagai ancaman terhadap Demak. Sebelum Portugis membuat benteng, armada Demak dibawah pimpinan Fatahilah dapat menghancurkan armada Portugis. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Pada waktu Fatahillah melancarkan serangan ke Barat, Sultan Trenggono memimpin pasukan ke timur (Pasuruan), tetapi gagal bahkan Sultan Trenggono gugur di medan perang.
Sultan Trenggono sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam karena empat wali dari sembilan wali Sanga memilki hubungan Demak, mereka adalah :
1) Sunan Gunung Jati dikenal sebagai Sayrif Hidayatullah atau Syekh Nurullah. Menjelang akhir hayatnya beliau mengundurkna diri dari percaturan politik dan lebih banyak mencurahkan perhatiannya dalam kegiatan keagamaan, berdakwah dan mengajarkan Islam. Beliau wafat tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Jati Cirebon
Sunan Kudus. Nama aslinya Ja’far Shadiq putra penghulu Demak. Beliau pernah menjabat panglimam Angkatan Perang Demak, kemudian diangkat menjadi penghulu kerajaan Demak. Pada tahun 1543 pindah ke Kudus selanjutnya mendirikan masjid, yang terkenal dengan Masjid Menara Kudus dan menyebarkan Islam sampai akhir hayatnya, wafat tahun 1550.
3) Sunan Kalijaga. Nama kecilnya Raden Mas Syahid yang dibesarkan di Cirebon bersama Fatahillah. Pada tahun 1543 beliau datang ke Demak untuk menyebarkan Islam. Dalam dakwahnya beliau menggunakan kesenian rakyat.
4) Sunan Muria. Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said. Belaiu adalah putra Sunan Kalijaga dan juga adik ipar Sunan Kudus. Dalam dakwahnya beliau menekankan ajaran Tasawuf. Makam beliau di Gunung Muria.
b. Kerajaan Cirebon
Fatahillah yang juga dikenal dengan nama Falatehan, berhasil merebut bandar Cirebon dari kekuasaan Hindu Pajajaran. Karena jasanya dan kedudukannya sebagai keluarga dekat Sultan Trenggono, maka Cirebon diserahkan kepadanya yang kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama Pangeran Pasarean di bawah naungan Demak.
Pada tahun 1522 Pangeran Pasarean wafat. Fatahillah memutuskan menetap di Cirebon guna mngendalikan pemerintahan Cirebon sambil menekuni dan menyebarkan Islam. Pada tahun 1570, beliau wafat dan dimakamkan di bukit hutan jati.
c. Kerajaan Banten
Fatahillah disamping berhasil merebut Cirebon juga berhasil menduduki Banten dari kekuasaan Hindu Pajajaran. Oleh Sultan Trenggono, Banten dan Cirebon diserahkan kepadanya.
Dalam waktu singkat rakyat Banten masuk Islam. Fatahillah menjadikan Banten sebagai bandar utama di Selat Sunda. Pedagang-pedagang muslim lebih senang berniaga di Banten dari pada di bandar yang lain. Banten sama halnya Cirebon masih di bawah kekuasaan Demak.
Karena putranya yang diserahi memerintah Cirebon, yaitu Pangeran Pasarean meninggal pada tahun 1522, maka beliau meninggalkan Banten dan pindah ke Cirebonguna memerintah Cirebon. Sedangkan Banten diserahkan kepada putranya Hasanudin.
Suasana Kerajaan demak mengalami perang saudara, Hasanudin mengambil kesempatan melepaskan diri dari ikatan Demak. Dengan demikian berdirilah kerajaan Islam Banten dan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
Kerajaan Banten meluas sampai Lampung. Sultan Hasanudin wafat tahun 1570 dan digantikan oleh putranya Pangeran Yusuf.
Pada zaman Pangeran Yusuf, kerajaan Pajajaran dapat ditakulukkan. Kekuasaan Hindu di Jawa Barat hancur. Penyebaran agama Islam meluas sampai ke daerah pedalaman. Sisa-sisa orang Pajajaran yang tidak masuk Islam menyingkir ke Banten Selatan, yang kini dikenal sebagai orang Badui.
Pada tahun 1580 Pangeran Yusuf yang juga dikenal sebagai Maulana Yusuf wafat dan digantikan putra mahkota Maulan Muhammad yang masih sangat muda belia.
7. Peranan Umat Islam di Indonesia.
a. Masa penjajahan
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dan menjadikannya bersuku-suk dan berbangsa-bangsa agar mereka saling satu sama lain saling mengenal. Agama Islam sangat menekankan hubungan yang baik, harmonis saling menghormati antara seorang dengan orang lain, antara suku dengan suku yang lain, dan antara bangsa dan bangsa yang lain. Islam tidak membenarkan adanya perlakuan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh manusia terhdapa manusia lainnya, golongan kepada golongan lainnya, suku kepada suku lainnya, bangsa terhadap bangsa lainnya. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia disisi Allah sama tidak ada perbedaan ras, suku dan bangsa dan yang paling mulia adalah yang paling taqwa kepadaNya.
Keyakinan dan semangat yang dilandasi yang dilandasi ajaran agama ini melahirkan sikap antipati kaum muslimin Indonesia terhadap perilaku dan tindakan kaum penjajah Belanda yang sangat sewenag-wenang, menindas, membelenggu dan menjajah. Semangat ajaran agama itulah yang membangkitkan semangat jihad berjuang di jalan Allah SWT, demi mewujudkan kebenaran, keadilan dan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penindasan, keseweang-wenangan dan penjajahan.
b. Peranan Umat Islam pada masa Penjajahan
Sebelum bangsa Belanda masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia telah memeluk agama Islam. Ajaran Islam telah diamalkan dengan baik oleh sebagian besar kaum muslimin. Keyakinan bahwa manusia disisi Allah SWT adalah sama, tidak ada perbedaan drajat kecuali dalam hal iman dan taqwanya kepada Allah SWT, menumbuhkan kesadaran terhadap kemandirian dan kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan kehidupannya, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.
Bangsa Belanda datang ke Indonesia pada mulanya berniat hendak berniaga, berdagang. Namun dalam perkembangan selanjutnya niat itu berubah menjadi keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai koloni, dibaah kekuasaan dan jajahannya. Belanda dalam berdagang mula-mula bebas, yakni orang indoneisa bebas menjual barang dagangannya kepada siapa saja yang membeli dengan harga yang layak tetapi kemudian perdagangan itu menjadi monopoli orang-orang Belanda. Orang Indonesia harus menjual barang dagangannya keopada orang-orang Belanda dengan harag yang ditentukan oleh mereka, yaitu orang-orang Belanda. Kemudian daerah pusat perdagangan pun dikuasainya, dan kehidupan kemasyarakatan dikuasainyadan akhirnya bangsa Indonesia dijajahnya.
Melihat perilaku bangsa Belanda yang melakukan penekanan, penindasan dan ketidak adilan itu, akum musliminsangat merasakannya, dan berusaha untuk melepaskan diri dari perlakuan dan tindakan bangsa Belanda yang diluar batas perikemanusian.
Dilandasi semangat tauhid dan keyakinan ajaran agama, kaum muslimin bangkit secar pribadi dan kelompok menentang perilaku ketidak adilan dan penjajahan Belanda tersebut. Melihat kenyataan ini Belanda menghadapinya dengan kekerasan senjata. Perlawanan bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali kemerdekaannya terus menerus diperjuangkan. Diseluruh pelosok tanah air bangsa Indoensia yang sebagian besar kaum muslimin berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan itu. Perlawanan perjuangan dan peperangan terus berkecamuk tidak ada habis-habisnya, samapi proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
c. Peranan Kerajaan Islam dalam menentang penjajahan.
Belanda telah melakukan penindasan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia yang semakin lama semakin kuat kekuasaannya, di seluruh Nusantara. Perbuatan Belanda yang demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia, dan nilai-nilai peri kemanusian dan keadilan.
Melihat keadaan seperti ini kaum muslimin yang terhimpun pada kerajaan Islam pada waktu itu di seluruh Nusantara mengadakan perlawanan secara terpisah, masing-masing menentang penjajahan Belanda. Kesultanan Banten di pulau Jawa yang berulang kali mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Terutama pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Banten dari tahun 1651-1682 M, sangat anti terhadap penjajahan Belanda. Perjuangan mengusir penjajah itu terus menerus dilancarkan sampai akhir pemerintahan Beliau di Kesultanan Banten.
Pada tahun 1522 Portugis telah menetap dan mendirikan benteng pertahanan di wilayah Sunda Kelapa (Jakarta). Portugis disamping berdagang juga membawa ajaran agama Khatolik.
Melihat keadaan seperti itu kerajaan Islam Demak sangat khawatir. Maka pada tahun 1526 tentara Demak dibawah pimpinan Fatahillah berangkat menuju Sunda Kelapa melalui jalan laut. Selanjutnya Fatahillah berhasil berusaha mengusir tentara Portugis dalam peperangan yang sengit terjadi dan akhirnya Portugis kalah. Sunda Kelapa dapat direbut Fatahillah pada 22 Juni 1527 M kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, kemudian sekarang menjadi Jakarta (Ibukota Negara)
Pada masa Sultan Agung sebagai Raja Islam Mataram di Jawa Tengah, penjajah Belanda sudah menguasai Batavia (Jakarta), pada tahun 1628 Sultan Agung berusaha mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa, tetapi usahanya tidak berhasil. Dan pada tahun 1629 beliau melakukan penyerangan lagi ke Batavia dengan kekuatan yang lebih besar. Namun karena persenjataan Belanda lebih modern, akhirnya perlawanan itu dapat dipatahkan.
Demikian pula Tueku Umar di Aceh, Imam Bonjol di Sumatra Barat, Sultan Hasanuddin di Sulawei Selatan, Sultan Babullah di Ternate, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, dan daerah-daerah lainnya mereka dengan dukungan masyarakatnya berjuang dan berperang mengusir penjajah Belanda.
d. Peranan Umat Islam pada Masa Kemerdekaan
Perilaku kaum penjajah makin lama makin kejam terhadap bangsa Indonesia. Penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidak adilan penjajah merajalela. Bangsa Indonesia tertindas, miskin, terbelenggu oleh kaum penjajah.
Kaum muslimin yang merupakan penduduk terbesar bangsa Indonesia sangat merasakan perilaku kaum penjajah itu. Para ulama bersama kaum muslimin bangkit, berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari tangan penjajah itu. Di seluuh pelosok Nusantara kaum muslimin bangkit untuk merebut kembali kemerdekaannya yang telah dirampas oleh penjajah.
Pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan berjuang terus tiada henti-hentinya dengan segala pengorbanan, baik berupa harta maupun jiwa. Pejuang muslim dan pahlawan kemerdekaan itu antara lain K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasym Ashari, HOS Cokroaminoto di Pulau Jawa, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Panglima Polim (Aceh), Imam Bonjol (Sum-Bar), Sultan Mahmud Badruddin (Palembang), Raden Intan (Lampung) di Sumatra. Pangeran Antasari di Kalimantan, Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan lain-lain yang tersebar diseluruh Nusantara.
Para pejuang muslim itu dengan ikhlas dan semangat jihad berjuang di jalan Allah SWT menentang dan mengusir penjajah Belanda maupun Jepang dengan pengorbanan harta benda, jiwa dan raganya
e. Peranan Organisasi Islam dan Pondok Pesantren
pada masa Perang Kemerdekaan
Sejak awal Islam masuk ke Indonesia dan pada masa perkembangan selanjutnya, ulama Islam menempatkan pendidikan sebagai tugas utama. Wujud kongkrit pendidikan adalah pesantren dan muridnya disebut santri. Tempat pendidikannya ada yang menyatu dengan masjid dan ada juga yang secara khusus dibangun biasanya dekat masjid.
Melalui pesantren ulama mendidik santri mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan terutama mengenai ilmu agama. Disini diajarkan tentang keimanan, ibadah, Al Qur’an, akhlak, Syariah, muamalah dan tarikh. Selain itu ditanamkan pengertian hak dan kewajiban kaum muslimin sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial serta perjuangan untuk memperoleh hak kemerdekaan yang telah dirampas oleh kaum penjajah.
Santri yang belajar di pesantren datang dari berbagai suku dab daerah. Setelah mereka selesai belajar, umumnya mereka kembali ke daerah asalnya kemudian mereka mendirikan lagi pesantren dan mengajarkan agama di daerahnya masing-masing, sehingga tersebarlah pesantren dan pendidikan agama ke seluruh pelosok tanah air. Pesantren sebagai tempat mendidik generasi muda muslim, para santri dididik dan dipersiapkan untuk menjadi kader umat dan pemimpin masyarakat.
Belanda mengetahui keadaan dan perkembangan pesantren, kemudian mengawasi kegiatan pondok pesantren, karena tempat itu dianggap sebagai tempat pembinaan kader umat yang akan menentang kekuasaannya.
Hubungan dan jalinan santri, ulama/Kyai dan masyarakat kaum muslimin sangat kuat, mereka bersama-sama menghadapi penjajah, namun usaha itu banyak mengalami kegagalan karena belum tertibnya organisasi dan masih lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Kaum muslimin menyadari bahwa perjuangan tnpa dihimpun dalam suatu organisasi yang baik akan mengalami kesulitan dan kegagalan. Setelah ptra-putri kaum muslimin banyak memperoleh pendidikan di luar negri, di Eropa dan Timur Tengah serta meningkatkan peranan pendidikan di pondok pesantren, timbullah kesadaran mereka untuk membuat perkumpulan organisasi yang modern yang berciri khas keagamaan.
Organisasi tersebut misalnya Serikat Dagang Islam didirikan 1905, Serikat Islam tahun 1911, Muhammadiyah tahun 1512, Persatuan Islam tahun 1526, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah tahun 1928, Jam’iyatul Washliyah tahun 1930, dan lain-lain. Para Kyai dan santri juga mendirikan organisasi bersenjata untuk melawan penjajahan Belanda yaitu Hizbullah dan gerakan-gerakan kepanduan Islam.
Organisasi tersebut mendidik, membina dan melatih generasi muda muslim mengenal berbagai pengetahuan dan semangat perjuangan, dalam menentang penjajahan. Hasil tempaan dan pendidikan disini menumbuhkan semangat juang sehingga lahirlah tokoh-tokh perjuangan kemerdekaan seperti HOS Cokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H Hasyim Asy’ari dan lain-lain.
f. Peranan Umat Islam pada Masa Pembangunan
Berkat rahmat Allah SWT, usaha perjuangan kaum muslimin dan seluruh lapisan masyarakat berhasil dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. proses perjuangan yang panjang dalam merebut kembali kemerdekaan yang telah dirampas oleh penjajah, telah banyak mengobarkan berupa harta benda, jiwa dan raga kaum muslimin.
Setelah merdeka, bebas dari kungkungan kaum penjajah, kaum muslimin secara bertahap mengisi kemerdekaan itu dengan pembangunan disegala bidang, pembangunan fisik material berupa perbaikan sarana transportasi, pertanian, perumahan dan perekonomian, sehingga pembangunan fisik material secara bertahap makin lama makin meningkat. Pembangunan bidang mental seperti meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama, meningkatkan pendidikan, mengembangkan kehidupan dan sosial kemasyarakatan yang aman tertib dan rukun juga dilaksanakan.
Kaum muslimin selalu membangun dan mengisi kemerdekaan itu dengan menselaraskan pembangunan materiil dan spirituil dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Kaum muslimin bersama segenap anggota bangsa Indonesia lainnya kini mengatur dan memerintah bangsanya sendiri. Pemerintahan dilaksanakan dengan cara yang demokratis. Keamanan, ketertiban dan kesejahteraan sosial terus diupayakan dan ditegakkan. Demikian juga persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga terwujudlah negara yang aman, adil dan makmur dengan penuh limpahan rahmat dan ridha Allah SWT, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang dituangkan dalam UUD 1945.
g. Peranan Organisasi Islam dalam Masa Pembangunan
Organisasi Islam yang sejak zaman penjajah selalu membina dan mendidik umat dengan berbagai ilmu pengetahuan dan mengembangkan semangat perjuangan menentang penjajah, maka setelah merdeka usaha itu pada dasarnya tetap terus dikembangkan dan ditingkatkan lebih baik. Sikap menentang penjajahan dialihkan dan diganti dengan sikap giat, semangat dan etos kerja untuk mencapai ketinggian ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan mengisi pembangunan bangsa.
Dalam rangka ikut serta meningkatkan pengetahuan, kecerdasan dan kualitas masyarakat telah diupayakan melalui pendidikan pada jalur sekolah. Didirikanlah oleh organisasi-organisasi Islam berbagai lembaga pendidikan dari jenjang pendidikan dasar seperti SD, SMP, pendidikan menengah seperti SMA dan pendidikan tinggi seperti Universitas dan Institut yang tersebar diseluruh daerah. Diantara oragnisasi Islam yang giat dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan ialah Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al-Washliyah, Al-Irsyad, Djamiat Khair, GUPPI, PUI, Al-Khairat, ICMI dan lain-lain.
h.Peranan Para Individu Muslim dalam Pembangunan
Organisasi Islam yang berperan dalam pembangunan Nasional bukan hanya mereka yang tergabung dalam organisasi. Banyak orang Islam secara pribadi baik sebagai dokter, dosen, pejabat negara, wakil rakyat di DPR, pengusaha, Cendikiawan, petani, guru, pengrajin, dan lain-lain mereka semuanya melakukan kegiatan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing. Tanpa terikat dengan organisasi keagamaan, mereka menyumbangkan dharma baktinya kepada nusa dan bangsa. Memang menjadi umat Islam tidak harus menjadi anggota organisasi atau partai Islam. Menurut Al Qur’an orang Islam yang baik adalah yang paling bertakwa, yang beriman kepada Allah dan beramal shaleh, dimanapun mereka berada.
i. Peranan Lembaga Pendidikan dalam Masa Pembanguna
Lembaga pendidikan Islam dalam kegiatannya lebih menekankan pembinaan, peningkatan ilmu pengetahuan dan kecerdasan masyarakat melalui pendidikan pada jalur sekolah dan luar sekolah.
Peningkatan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas yang melalui jalur pendidikan sekolah biasanya terdiri dari pendidikan sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi dan Madrasah seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi agama seperti IAIN
Melalui pendidikan ini secara bertahap ilmu pengetahuan bertambah meningkat dan Sumber Daya Manusia lebih berkualitas. Dengan meningkatnya kualitas masyarakat maka hasil kerja masyarakatpun semakin meningkat. Dengan demikian meningkatnya hasil umat melalui jalur luar sekolah, antara lain dilaksanakan melalui pengajian, Taman Bacaan Al Qur’an, kursus-kursus ilmu keagamaan dan pembinaan di Masjid-Masjid.
Demikanlah betapa besar peranan kelembagaan pendidikan Islam dalam pembangunan pembangunan bangsa erat kaitannya dengan sumber daya manusianya sebagai pelaksana pembangunan itu sendiri.
Menurut sebagian ahli sejarah, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 atau ke 8 Masehi atau abad pertama atau kedua hijriyah melalui dua jalur, yakni :
Jalur utara dengan rute : Arab (Mekkah dan Madinah) – Damaskus – Baghdad – Gujarat (pantai barat India) – Srilanka – Indonesia
Jalur selatan dengan rute : Arab (Mekkah dan Madinah) – Yaman – Gujarat (pantai barat India) – Srilanka – Indonesia
Sebelum Islam masuk di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha . Kerajaan Hindu yang ada ( abad ke 7-12 M) sebagai berikut :
1. Kutai di Kalimantan
2. Taruma Negara di Jawa Barat
3. Mataram Hindu atau yang disebut dengan kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah
4. Isana di Jawa Timur
5. Kediri di Jawa Timur
6. Galuh di daerah Galuh, Ciamis Jawa Barat
7. Pajajaran berpusat di Pakuan Pajajaran, sebelah barat sungai Citarum Jawa Barat
8. Warmadewa atau Udayana di Bali
Kerajaan Budha yang ada adalah :
1. Kalingga di Jawa Tengah
2. Syailendra di Jawa Timur
B. Penyebaran Islam di Indonesia
Secara garis besar penyebaran Islam terjadi melalui tiga cara :
1. Perdagangan
Pedagang muslim Arab selain berdagang mereka juga bertindak sebagai muballigh. Merka datang ke Indonesia lewat Gujarat dan Srilanka sehingga ada pengertian bahwa masuknya agama Islam dibawa oleh pedagang Gujarat yang sudah tidak asli lagi. Sesungguhnya yang terjadi adalah para pedagang Arab itu singgah di Gujarat dan menyampaikan ajaran Islam kemudian bersama-sama dengan penduduk Gujarat menuju ke Indonesia. Maka agama Islam yang berkembang di Indonesia masih asli dan menarik minat penduduk, mereka mengadakan penyesuaian dengan kebudayaan daerah.
2. Pernikahan
Para pedagang muslim itu ada yang menetap di Indonesia dan menikah dengan penduduk setempat. Sudah barang tentu mereka menjadi keluarga muslim dan penyebar agama Islam yang gigih.
C. Pembebasan Budak
Pada masa msuknya Islam di Indonesia, perbudakan masih berlaku. Banyak budak saudagar Hindu dan Budha yang dibeli oleh saudagar muslim kemudian dimerdekakan. Mereka masuk dalam keluarga muslim karena keadilan, maka tak segan mereka akhirnya menganut agama Islam.
Jelaslah Islam masuk ke Indonesia tanpa paksaan, bahkan dilandasi oelh cinta kasih dan damai. Agama Islam dapat diterima oleh sebagian penduduk Indonesia yang haus akan keadilan. Melalui ajaran tentang cinta kasih, perdamaian, persamaan tanpa membedakan kasta dan keadilan Islam dapat terus berkibar di Indonesia hingga kini.
Masuknya agam Islam ke Indonesia bukan hanya di satu lokasi dan dalam tempo yang sama, tapi tersebar di seluruh pelosok tanah air dan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Misalnya :
1. Kota-kota pelabuhan di selat Malaka, diantaranya pantai Aceh bagian utara yang bernama Pasai. Pada abad VII Pasai merupakan kota pelabuhan internasional. Disinilah para pedagang (Arab, Gujarat, Tiongkok, dll) singgah, sehingga penyebaran Islam terjadi di Pasai
2. Pantai barat pulau Sumatra. Buktinya ialah dapat ditemukan perkampungan yang diduduki orang muslim pada abad ke VII. Juga di Barus (Tapanuli) ditemukkan makan Syeikh Mukaidin yang menurut catatan wafat pada tahun 670 M.
3. Jawa Timur. Di Leran ditemukan makam seorang muslimah bernama Fathimah binti Maimun yang wafat tahun 1101 M
4. Jawa Barat. Diketahui bahwa raja Pajajaran yang bernama Prabu Purwa menyerahkan tahta kepada adiknya yang bernama Prabu Munding Sari. Prabu Purwa mengembara ke India dan bertemu dengan pedagang muslim dari Arab. Beliau tertarik agama Islam dan pada tahun 1195 pergi haji dan terkenal dengan Haji Purwa. Kemudian beliau kembali ke Indonesia dan menyebarkan agama Islam di daerahnya.
D. Perkembangan Islam di Indonesia
1. Perkembangan Islam di Sumatra
Di Sumatra semasa abad XIII-XV M. Telah berdiri kerajaan Samudra Pasai dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan Samudra Pasai terletak di kampung Samudra di tepi sungai Pasai dan berdiri sejak tahun 1261 M. Raja-raja yang memerintah Samudra Pasai berturut-turut sebagai berikut :
1. Sultan Al Malikus Shaleh
2. Sultan Al Malikuz Zahir I
3. Sultan Al Malikuz Zahir II
4. Sultan Zainal Abidin
5. Sultan Iskandar
Adanya jalur perhubungan dengan Gujarat menyebabkan perdagangan Samudra Pasai mengalami perkembangan. Samudra Pasai telah mengadakan hubungan dengan Sultan Delhi di India. Tatkala Ibnu Bathutah diutus sultan Delhi ke China, ia singgah di Samudra Pasai terlebih dahulu dan sekembalinya dari China pulang ke Delhi juga singgah lagi di Samudra Pasai dan bertemu dengan sultan Malikuz Zahir sebagaimana diceritakan dalam bukunya Rihlah Ibnu Bathutah (perjalanan Ibnu Bathutah).
Di luar Samudra Pasai tepatnya di Jawa Timur telah berdiri suatu negara maritim yang besar ialah Majapahit. Majapahit tidak membiarkan tumbuhnya kekuatan di sekitar selat Malaka. Karena itu sekitar tahun 1350 M Samudra Pasai dibinasakan oleh armada Majapahit.
Hampir bersamaan dengan jatuhnya Malaka karena diduduki oleh Portugis, muncullah kerajaan baru di Sumatra yaitu Kerajaan Aceh pada abad XVI M
Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang memerintah tahun 1607-1636 M. Raja-raja yang memerintah Aceh semasa empat abad antar lain sebagai berikut :
a. Sultan Ali Al Mughayat Syah atau dikenal juga dengan Sultan Ibrahim
b. Sultah Salahuddin
c. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah
d. Sultan Husin
e. Sultan Zainil Abidin
f. Sultan Alauddin Mansyur Syah
g. Sultan Ali Ri’ayat Syah I
h. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah II
i. Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam
Usaha pertama yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim adalah memperkuat kedudukan kerajaan dan meyusun angkatan perang yang tangguh, bahkan mempunyai prajurit-prajurit yang berasal dari Turki, Arab, dan Abesinia.
Sepeninggal Sultan Ibrahim Aceh mengalami pasang surut. Pada zaman Sultan Iskandar Muda Aceh mengalami puncak kebesaran, meluas meliputi Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, Perak dan Nias. Sultan Iskandar Muda berhasil meletakkan dasar-dasar penyelenggaran pemerintahan yang dipergunakan oleh sultan-sultan berikutnya.
Kerajaan Aceh Pidie berdir sejak tahun 1507 M sebagai kerajaan Islam kedua setelah samudra Pasai. Dan Aceh baru dapat ditundukkan Belanda pada abad XIX M.Pada abad XII-XVII M Islam berangsur-angsur berkembang di Sumatra.
2. Perkembangan Islam di Jawa
Jalur perhubungan antara Pasai dan Malaka di satu pihak dan dengan Jawa di pihak lain sangat lancar. Banyak pedagang dari Jawa berdagang ke Pasai dan Malaka sambil berdakwah menyebarkan agama Islam. Bahkan banyak pula ulama datang ke Jawa untuk menyebarkan Islam di kota-kota yang masih dikuasai oleh kerajaan Hindu.
Gerakan penyiaran agama Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan dari jasa dan peranan para wali. Jumlah wali meskipun sebenarnya banyak tetapi yang diakui sampai sekarang adalah sembilan, dan dikenal dengan sebutan Wali Songo. Diantara wali sembilan ada yang hanya berdakwah sebagai penyiar agama, tetapi ada juga yang memegang peranan penting dalam bidang politik pemerintahan. Meraka hidup antara abad XIV-XVI M. Wali Songo tersebut adalah :
a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
b. Sunan Ampel
c. Sunan Bonang
d. Sunan Giri
e. Sunan Drajat
f. Sunan Kalijaga
g. Sunan Kudus
h. Sunan Muria
i. Sunan Gunung Jati
Dalam penyebaran agama Islam para wali mendirikan perguruan-perguruan untuk mengembleng santri-santri untuk menjadi manusia yang militan dan luas pengetahuan. Tetapi para wali itu dalam penyiaran agama Islam tidak kaku, melainkan bertindak sangat bijaksana. Bahkan mereka banyak menyesuaikan ajaran dengan tradisi dan kepercayaan rakyat yang dipimpinnya khusunya mengenai kesaktian-kesaktian.
Sekelumit tentang Wali Songo sebagai berikut :
1. Maulana Malik Ibrahim
Beliau dikenal dengan sebutan Maulana Maghribi, yang berasal dari Persia. Karena pusat kegiatannya di Gresik Surabaya maka terkenal dengan nama Sunan Gresik. Disinilah beliau memberi wejangan/pelajaran kepada para santri sebagai calon muballigh
1. Sunan Ampel
Nama kecilnya Raden Rahmat berayahkan orang Arab dan beribukan orang Campa, dilahirkan di Aceh tahun 1401 M dan wafat 1481 M, serta dimakamkan di desa Ampel. Karena itu terkenal sebagai Sunan Ampel
1. Sunan Bonang
Nama kecil Sunan Bonang adalah Makdum Ibrahim putera Sunan Ampel, lahir tahun 1465 M. Beliau mula-mula berguru kepada ayahnya sendiri. Kemudian merantau ke Pasai bersama Raden Paku untuk memperdalam ilmu agama Islam. Jasa beliau sangat besar dalam penyiaran agama Islam. Beliau pulalah yang mendidik Raden Patah. Beliau wafat tahun 1515 M.
1. Sunan Giri
Nama kecilnya adalah Raden Paku putera Maulana Ishak, yang menyebarkan agama Islam di Blambangan Jawa Timur. Beliaulah pelopor pemerintahan Giri.
1. Sunan Drajat
Nama kecil beliau adalah Syarifudin, putera Sunan Ampel juga adik Sunan Bonang. Dakwah beliau terutama dalam bidang sosial. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang dari Ternate dan Hitu Ambon.
Empat wali lainnya akan dibicarakan pada pembahasan tentang Kerajaan demak, karena mereka mempunyai hubungan dengan Demak.
3. Perkembangan Islam di Sulawesi.
Pelabuhan Jaratan dan Gresik pada abad XVI mempunyai arti penting dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam. Tidak jauh dari situ berdiamlah Sunan Giri, salah seorang wali songo yang cukup banyak jasanya dalam pemerintahan giri dan penyebaran agama Islam.
Sunan Giri menyelenggarakan pesantren yang banyak didatangi santri dari luar jawa seperti Ternate, Hitu dan lain-lain. Beliau mengirimkan murid-muridnya ke pulau Madura, Sulawesi, dan Nusa Tenggar. Para pedagang dan nelayan yang telah mendapatkan ajaran Islam, termasuk para pedagang dari Makasar dan Bugis.
Di Sulawesi pada abad XVI telah berdiri kerajaan Hindu Gowa dan Tallo, yang penduduknya tidak sedikit yang telah memeluk agama Islam karena hubungannya dengan kesultanan Ternate dalam rangka menghadapi Portugis. Pada permulaan abad XVII raja-raja Gowa dan Tallo telah masuk Islam, seperti raja Gowa Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin dan raja Tallo bergelar Sultan Abdullah.
Sumbaopu merupakan pelabuhan yang terbesar di belahan timur di Sulawesi Selatan. Masyarakat Sulawesi telah banyak yang menganut agama Islam dan bersikap rukun terhadap penganut agama lain. Orang-orang Portugis yang menganut agama Khatolik diberi kebebasan menjalankan agamanya.
4. Perkembangan Islam di Kalimantan
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ada disekitar abad V M di Kalimantan Timur telah ada kerajaan hindu yakni kerajaan Kutai. Sedangkan kerajaan-kerajaan Hindu yang lain adalah kerajaan Sukadana di Kalimantan Barat, kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan.
Pada abad XVI Islam memasuki daerah kerajaan Sukadana. Bahkan pada tahun 1590 kerajaan Sukadana resmi menjadi kerajaan Islam, yang menjadi sultan pertamanya adalah sultan Giri Kusuma. Setelah itu digantikan oleh putranya Sultan Muhammad Syafiuddin. Beliau banyak berjasa dalam pengembangan agama Islam karena bantuan seorang muballigh bernama Syekh Syamsudin.
Di kalimantan Selatan pada abad XVI M masih ada beberapa kerajaan Hindu antara lain Kerajaan Banjar, Kerajaan Negaradipa, Kerajaan Kahuripan dan Kerajaan Daha. Kerajaan-kerajaan ini berhubungan erat dengan Majapahit.
Ketika Kerajaan demak berdiri, para pemuka agama di Demak segera mnyebarkan agama Islam ke Kalimantan Selatan. Raja Banjar Raden Samudra masuk Islam dan ganti nama dengan Suryanullah. Sultan Suryanullah dengan bantuan Demak dapat mengalahkan Kerajaan Negaradipa. Setelah itu agama Islam semakin berkembang di Kalimantan.
Diatas telah diutarakan, bahwa Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia dan sebagai kerajaan Hindu. Dengan pesatnya perkembangan Islam di Gowa, Tallo dan terutama Sombaopu, maka Islam mulai merembas ke daerah Kutai. Mengingat Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam maka para pedagang yang lalu lalang lewat selat Makasar juga singgah di Kutai. Sebagai muballigh mereka tidak menyianyiakan waktu untuk berdakwah. Islam akhirnya dapat memasuki Kutai dan tersebar di Kalimantan Timur mulai abad XVI.
5. Perkembangan Islam di Maluku dan pulau Sekitarnya.
Di Maluku Utara terdapat empat Kerajaan, yaitu : Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo yang saling berselisih dan bersaing. Terakhir Ternatelah yang memegang peranan penting dan menjadi bandar pusat perdagangan rempah-rempah.
Di muka telah disinggung, bahwa sebagian santri Sunan Drajat ada yang berasal dari Ternate dan Hitu. Karenanya Islam telah dikenal rakyat Ternate sejak abad XV M.
Hubungan dagang dengan Indonesia bagian barat khusunya dengan jawa berjalan lancar. Para pedagang selain berdagang juga berdakwah. Mereka yang sudah menerima Islam kemudian banyak dikirim ke Jawa Timur untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Raja Ternate yang pertama-tama memeluk Islam adalah Sultan Mahrum (1465-1468 M). Penggantinya adalah Sultan Zainal Abidin yang sangat besar jasanya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Maluku dan Irian, bahkan samapi ke Philipina. Raja Tidore kemudian masuk Islam dan mengganti nama menjadi Sultan Jamaludin. Demikian juga raja Jailolo masuk Islam dan selanjutnya mengganti nama menjadi Sultan Hasanudin. Selanjutnya raja Bacan pada tahun 1520 masuk Islam bernamakan Sultan Zainal Abidin.
Penyiaran Islam di Maluku, Sulawesi dan Jawa mengiktui alur perdagangan. Bahkan Sultan Giri berhasil mengikat perjanjian dengan raja di teluk Lombok, Sumbawa dan Bima untuk mengakui kekuasaan kerajaan Islam Giri.
Pada abad XVI perkembangan Islam di Indonesia agak terhambat dan menghadapi tantangan berat karena kedatangan Portugis pada tahun 1512 dan Spanyol pada tahun 1521 dengan membawa penyiaran agama Nasrani. Pada permulaan abad XVII Belanda dapat mengalahkan Portugis, setelah berperang bertahun-tahun di Ambon. Sementara itu kerajaan Ternate dan Tidore selalu bertentangan sehingga menjadi makin lemah dan tidak mampu membendung meluasnya VOC ke Maluku Utara. Belanda mulai menjajah Indonesia dimulai dari Maluku sejak menguasai Ambon pada tahun 1605.
Berangsur-angsur Belanda memperluas wilayahnya ke Barat, dan Makasar pada tahun 1669 dapat ditundukkan. Selanjutnya seluruh Indonesia, kecuali Aceh yang mampu bertahan sampai akhir abad XIX.
Dalam rangka mempertahankan wilayah dan kelangsungan pengembangan Islam, maka kerajaan-kerajaan Islam tidak dengan mudah menyerah, bahkan mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Sehingga banyak berjatuhan pahlawan-pahlawan muslim, antara lain :
1. Sultan Iskandar Mahkota Alam dari Aceh
2. Sultan Agung dari Mataram
3. Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten
4. Sultan Hasanudin dari Makasar
5. Sultan Babullah dari Ternate
6. Imam Bonjol dari Sumatra Barat
7. Teuku Umar dari Aceh
8. Pangeran Diponegoro
Perkembangan Islam tidak hanya tergantung pada raja-raja, tetapi perang para muballigh juga menetukan. Pada abad XVI muncul ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkil, Syekh Nuruddin Ar Raniri yang ketiganya dari Aceh dan Syekh Yusuf Tajul Khalwari dari Makasar.
Pada abad itu umat Islam menghadapi penjajah terutama dari Eropa dengan membawa agama Nasrani yang telah berpengalamn dalam Perang salib.
6. Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai Pusat Penyiaran Islam
Pada abad XVI di Jawa berdiri beberapa kerajaan Islam yang terkenal antara lain :
a. Kerajaan Demak
Dengan meninggalnya raja Hayam Wuruk, maka kerajaan Majapahit semakin merosot. Satu demi satu daerah kekuasaannya melepaskan diri dari Kerajaan Majapahit, termasuk Kerajaan Demak.
Menjelang berakhirnya abad XV Raden Patah, santri setia Sunan Bonang mengumumkan berdirinya Kerajaan Islam Demak, lepas dari ikatan kekuasaan Majapahit. Demak semula kerajaan agraris berpenghasilan utama beras, kemudian menjadi negara maritim. Demak menjadi bandar perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan Makasar yang akan dikirim ke Malaka. Demak menjadi lebih besar dan lebih penting diantara bandar-bandar pantai utara Jawa. Demak dengan mudah dapat mempersatukan kota-kota pesisir seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Kemudian Raden Patah diakui sebagai pimpinan dengan gelar Sultan. Kedudukan demak semakin penting setelah Malaka (tahun 1511) dikuasai oleh Portugis. Banyak pedagang-pedagang muslim memindahkan kegiatannya ke Demak. Sultan Demak diakui sebagai pimpinan umat Islam dalam menghadapi ancaman Portugis.
Sebagai negara Islam dan negara maritim. Demak siap bersaing dengan Portugis yang nyata-nyata membahayakan umat Islam. Demak menyusun angkatan laut yang tangguh dan berhasrat menghancurkan Portugis di kandangnya sendiri. Pada tahun 1512 armada Demak dibawah pimpinan Pati Unus bersama-sama dengan Aceh menyerang Malaka. Tetapi gagal karena dipukul mundur oleh Portugis.
Peninggalan sejarah yang masih tegak sampai sekarang adalah Masjid Agung Demak yang dibuatnya bersama para wali.
Raden Patah meninggal tahun 1518 dan digantikan kedudukannya oleh putranya yang bernama Muhammad Yunus yang terkenal dengan nama Pati Unus atau Pangeran Sebrang Lor dengan gelar Sultan Demak II. Beliau memerintah 1518-1521.
Sepeninggal Pati Unus kerajaan Demak dipegang oleh Pangeran Trenggono. Pada masa inilah Syekh Nurullah tiba di Demak dari Pasai. Kemudian dikawinkan dengan adik perempuan Sultan Trenggono dan diangkat menjadi panglima perang sehingga kedudukan Demak makin kokoh.
Pada masa Sultan Trenggono, Demak giat melakukan ekspansi ke timur dan barat. Hal ini dilakukan karena ancaman Portugis yang bersifat ekonomi dan agama. Dalam pengerahan aramadanya ke barat Fatahillah berhasil pula menduduki Banten dan menguasai Cirebon.
Pada masa kejayaan Demak Portugis dapat menduduki Sunda Kelapa atas ijin raja Pajajaran yang masih beragama Hindu. Oleh sultan Trenggono pendudukan Portugis dianggap sebagai ancaman terhadap Demak. Sebelum Portugis membuat benteng, armada Demak dibawah pimpinan Fatahilah dapat menghancurkan armada Portugis. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Pada waktu Fatahillah melancarkan serangan ke Barat, Sultan Trenggono memimpin pasukan ke timur (Pasuruan), tetapi gagal bahkan Sultan Trenggono gugur di medan perang.
Sultan Trenggono sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam karena empat wali dari sembilan wali Sanga memilki hubungan Demak, mereka adalah :
1) Sunan Gunung Jati dikenal sebagai Sayrif Hidayatullah atau Syekh Nurullah. Menjelang akhir hayatnya beliau mengundurkna diri dari percaturan politik dan lebih banyak mencurahkan perhatiannya dalam kegiatan keagamaan, berdakwah dan mengajarkan Islam. Beliau wafat tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Jati Cirebon
Sunan Kudus. Nama aslinya Ja’far Shadiq putra penghulu Demak. Beliau pernah menjabat panglimam Angkatan Perang Demak, kemudian diangkat menjadi penghulu kerajaan Demak. Pada tahun 1543 pindah ke Kudus selanjutnya mendirikan masjid, yang terkenal dengan Masjid Menara Kudus dan menyebarkan Islam sampai akhir hayatnya, wafat tahun 1550.
3) Sunan Kalijaga. Nama kecilnya Raden Mas Syahid yang dibesarkan di Cirebon bersama Fatahillah. Pada tahun 1543 beliau datang ke Demak untuk menyebarkan Islam. Dalam dakwahnya beliau menggunakan kesenian rakyat.
4) Sunan Muria. Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said. Belaiu adalah putra Sunan Kalijaga dan juga adik ipar Sunan Kudus. Dalam dakwahnya beliau menekankan ajaran Tasawuf. Makam beliau di Gunung Muria.
b. Kerajaan Cirebon
Fatahillah yang juga dikenal dengan nama Falatehan, berhasil merebut bandar Cirebon dari kekuasaan Hindu Pajajaran. Karena jasanya dan kedudukannya sebagai keluarga dekat Sultan Trenggono, maka Cirebon diserahkan kepadanya yang kemudian diserahkan kepada putranya yang bernama Pangeran Pasarean di bawah naungan Demak.
Pada tahun 1522 Pangeran Pasarean wafat. Fatahillah memutuskan menetap di Cirebon guna mngendalikan pemerintahan Cirebon sambil menekuni dan menyebarkan Islam. Pada tahun 1570, beliau wafat dan dimakamkan di bukit hutan jati.
c. Kerajaan Banten
Fatahillah disamping berhasil merebut Cirebon juga berhasil menduduki Banten dari kekuasaan Hindu Pajajaran. Oleh Sultan Trenggono, Banten dan Cirebon diserahkan kepadanya.
Dalam waktu singkat rakyat Banten masuk Islam. Fatahillah menjadikan Banten sebagai bandar utama di Selat Sunda. Pedagang-pedagang muslim lebih senang berniaga di Banten dari pada di bandar yang lain. Banten sama halnya Cirebon masih di bawah kekuasaan Demak.
Karena putranya yang diserahi memerintah Cirebon, yaitu Pangeran Pasarean meninggal pada tahun 1522, maka beliau meninggalkan Banten dan pindah ke Cirebonguna memerintah Cirebon. Sedangkan Banten diserahkan kepada putranya Hasanudin.
Suasana Kerajaan demak mengalami perang saudara, Hasanudin mengambil kesempatan melepaskan diri dari ikatan Demak. Dengan demikian berdirilah kerajaan Islam Banten dan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
Kerajaan Banten meluas sampai Lampung. Sultan Hasanudin wafat tahun 1570 dan digantikan oleh putranya Pangeran Yusuf.
Pada zaman Pangeran Yusuf, kerajaan Pajajaran dapat ditakulukkan. Kekuasaan Hindu di Jawa Barat hancur. Penyebaran agama Islam meluas sampai ke daerah pedalaman. Sisa-sisa orang Pajajaran yang tidak masuk Islam menyingkir ke Banten Selatan, yang kini dikenal sebagai orang Badui.
Pada tahun 1580 Pangeran Yusuf yang juga dikenal sebagai Maulana Yusuf wafat dan digantikan putra mahkota Maulan Muhammad yang masih sangat muda belia.
7. Peranan Umat Islam di Indonesia.
a. Masa penjajahan
Sesungguhnya Allah SWT menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dan menjadikannya bersuku-suk dan berbangsa-bangsa agar mereka saling satu sama lain saling mengenal. Agama Islam sangat menekankan hubungan yang baik, harmonis saling menghormati antara seorang dengan orang lain, antara suku dengan suku yang lain, dan antara bangsa dan bangsa yang lain. Islam tidak membenarkan adanya perlakuan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh manusia terhdapa manusia lainnya, golongan kepada golongan lainnya, suku kepada suku lainnya, bangsa terhadap bangsa lainnya. Islam mengajarkan bahwa setiap manusia disisi Allah sama tidak ada perbedaan ras, suku dan bangsa dan yang paling mulia adalah yang paling taqwa kepadaNya.
Keyakinan dan semangat yang dilandasi yang dilandasi ajaran agama ini melahirkan sikap antipati kaum muslimin Indonesia terhadap perilaku dan tindakan kaum penjajah Belanda yang sangat sewenag-wenang, menindas, membelenggu dan menjajah. Semangat ajaran agama itulah yang membangkitkan semangat jihad berjuang di jalan Allah SWT, demi mewujudkan kebenaran, keadilan dan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penindasan, keseweang-wenangan dan penjajahan.
b. Peranan Umat Islam pada masa Penjajahan
Sebelum bangsa Belanda masuk ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia telah memeluk agama Islam. Ajaran Islam telah diamalkan dengan baik oleh sebagian besar kaum muslimin. Keyakinan bahwa manusia disisi Allah SWT adalah sama, tidak ada perbedaan drajat kecuali dalam hal iman dan taqwanya kepada Allah SWT, menumbuhkan kesadaran terhadap kemandirian dan kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan kehidupannya, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.
Bangsa Belanda datang ke Indonesia pada mulanya berniat hendak berniaga, berdagang. Namun dalam perkembangan selanjutnya niat itu berubah menjadi keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai koloni, dibaah kekuasaan dan jajahannya. Belanda dalam berdagang mula-mula bebas, yakni orang indoneisa bebas menjual barang dagangannya kepada siapa saja yang membeli dengan harga yang layak tetapi kemudian perdagangan itu menjadi monopoli orang-orang Belanda. Orang Indonesia harus menjual barang dagangannya keopada orang-orang Belanda dengan harag yang ditentukan oleh mereka, yaitu orang-orang Belanda. Kemudian daerah pusat perdagangan pun dikuasainya, dan kehidupan kemasyarakatan dikuasainyadan akhirnya bangsa Indonesia dijajahnya.
Melihat perilaku bangsa Belanda yang melakukan penekanan, penindasan dan ketidak adilan itu, akum musliminsangat merasakannya, dan berusaha untuk melepaskan diri dari perlakuan dan tindakan bangsa Belanda yang diluar batas perikemanusian.
Dilandasi semangat tauhid dan keyakinan ajaran agama, kaum muslimin bangkit secar pribadi dan kelompok menentang perilaku ketidak adilan dan penjajahan Belanda tersebut. Melihat kenyataan ini Belanda menghadapinya dengan kekerasan senjata. Perlawanan bangsa Indonesia untuk memperoleh kembali kemerdekaannya terus menerus diperjuangkan. Diseluruh pelosok tanah air bangsa Indoensia yang sebagian besar kaum muslimin berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan itu. Perlawanan perjuangan dan peperangan terus berkecamuk tidak ada habis-habisnya, samapi proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
c. Peranan Kerajaan Islam dalam menentang penjajahan.
Belanda telah melakukan penindasan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia yang semakin lama semakin kuat kekuasaannya, di seluruh Nusantara. Perbuatan Belanda yang demikian sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia, dan nilai-nilai peri kemanusian dan keadilan.
Melihat keadaan seperti ini kaum muslimin yang terhimpun pada kerajaan Islam pada waktu itu di seluruh Nusantara mengadakan perlawanan secara terpisah, masing-masing menentang penjajahan Belanda. Kesultanan Banten di pulau Jawa yang berulang kali mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Terutama pada masa Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah Banten dari tahun 1651-1682 M, sangat anti terhadap penjajahan Belanda. Perjuangan mengusir penjajah itu terus menerus dilancarkan sampai akhir pemerintahan Beliau di Kesultanan Banten.
Pada tahun 1522 Portugis telah menetap dan mendirikan benteng pertahanan di wilayah Sunda Kelapa (Jakarta). Portugis disamping berdagang juga membawa ajaran agama Khatolik.
Melihat keadaan seperti itu kerajaan Islam Demak sangat khawatir. Maka pada tahun 1526 tentara Demak dibawah pimpinan Fatahillah berangkat menuju Sunda Kelapa melalui jalan laut. Selanjutnya Fatahillah berhasil berusaha mengusir tentara Portugis dalam peperangan yang sengit terjadi dan akhirnya Portugis kalah. Sunda Kelapa dapat direbut Fatahillah pada 22 Juni 1527 M kemudian Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta, kemudian sekarang menjadi Jakarta (Ibukota Negara)
Pada masa Sultan Agung sebagai Raja Islam Mataram di Jawa Tengah, penjajah Belanda sudah menguasai Batavia (Jakarta), pada tahun 1628 Sultan Agung berusaha mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa, tetapi usahanya tidak berhasil. Dan pada tahun 1629 beliau melakukan penyerangan lagi ke Batavia dengan kekuatan yang lebih besar. Namun karena persenjataan Belanda lebih modern, akhirnya perlawanan itu dapat dipatahkan.
Demikian pula Tueku Umar di Aceh, Imam Bonjol di Sumatra Barat, Sultan Hasanuddin di Sulawei Selatan, Sultan Babullah di Ternate, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, dan daerah-daerah lainnya mereka dengan dukungan masyarakatnya berjuang dan berperang mengusir penjajah Belanda.
d. Peranan Umat Islam pada Masa Kemerdekaan
Perilaku kaum penjajah makin lama makin kejam terhadap bangsa Indonesia. Penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidak adilan penjajah merajalela. Bangsa Indonesia tertindas, miskin, terbelenggu oleh kaum penjajah.
Kaum muslimin yang merupakan penduduk terbesar bangsa Indonesia sangat merasakan perilaku kaum penjajah itu. Para ulama bersama kaum muslimin bangkit, berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari tangan penjajah itu. Di seluuh pelosok Nusantara kaum muslimin bangkit untuk merebut kembali kemerdekaannya yang telah dirampas oleh penjajah.
Pahlawan-pahlawan pejuang kemerdekaan berjuang terus tiada henti-hentinya dengan segala pengorbanan, baik berupa harta maupun jiwa. Pejuang muslim dan pahlawan kemerdekaan itu antara lain K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasym Ashari, HOS Cokroaminoto di Pulau Jawa, Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah, Panglima Polim (Aceh), Imam Bonjol (Sum-Bar), Sultan Mahmud Badruddin (Palembang), Raden Intan (Lampung) di Sumatra. Pangeran Antasari di Kalimantan, Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan lain-lain yang tersebar diseluruh Nusantara.
Para pejuang muslim itu dengan ikhlas dan semangat jihad berjuang di jalan Allah SWT menentang dan mengusir penjajah Belanda maupun Jepang dengan pengorbanan harta benda, jiwa dan raganya
e. Peranan Organisasi Islam dan Pondok Pesantren
pada masa Perang Kemerdekaan
Sejak awal Islam masuk ke Indonesia dan pada masa perkembangan selanjutnya, ulama Islam menempatkan pendidikan sebagai tugas utama. Wujud kongkrit pendidikan adalah pesantren dan muridnya disebut santri. Tempat pendidikannya ada yang menyatu dengan masjid dan ada juga yang secara khusus dibangun biasanya dekat masjid.
Melalui pesantren ulama mendidik santri mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan terutama mengenai ilmu agama. Disini diajarkan tentang keimanan, ibadah, Al Qur’an, akhlak, Syariah, muamalah dan tarikh. Selain itu ditanamkan pengertian hak dan kewajiban kaum muslimin sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial serta perjuangan untuk memperoleh hak kemerdekaan yang telah dirampas oleh kaum penjajah.
Santri yang belajar di pesantren datang dari berbagai suku dab daerah. Setelah mereka selesai belajar, umumnya mereka kembali ke daerah asalnya kemudian mereka mendirikan lagi pesantren dan mengajarkan agama di daerahnya masing-masing, sehingga tersebarlah pesantren dan pendidikan agama ke seluruh pelosok tanah air. Pesantren sebagai tempat mendidik generasi muda muslim, para santri dididik dan dipersiapkan untuk menjadi kader umat dan pemimpin masyarakat.
Belanda mengetahui keadaan dan perkembangan pesantren, kemudian mengawasi kegiatan pondok pesantren, karena tempat itu dianggap sebagai tempat pembinaan kader umat yang akan menentang kekuasaannya.
Hubungan dan jalinan santri, ulama/Kyai dan masyarakat kaum muslimin sangat kuat, mereka bersama-sama menghadapi penjajah, namun usaha itu banyak mengalami kegagalan karena belum tertibnya organisasi dan masih lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Kaum muslimin menyadari bahwa perjuangan tnpa dihimpun dalam suatu organisasi yang baik akan mengalami kesulitan dan kegagalan. Setelah ptra-putri kaum muslimin banyak memperoleh pendidikan di luar negri, di Eropa dan Timur Tengah serta meningkatkan peranan pendidikan di pondok pesantren, timbullah kesadaran mereka untuk membuat perkumpulan organisasi yang modern yang berciri khas keagamaan.
Organisasi tersebut misalnya Serikat Dagang Islam didirikan 1905, Serikat Islam tahun 1911, Muhammadiyah tahun 1512, Persatuan Islam tahun 1526, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah tahun 1928, Jam’iyatul Washliyah tahun 1930, dan lain-lain. Para Kyai dan santri juga mendirikan organisasi bersenjata untuk melawan penjajahan Belanda yaitu Hizbullah dan gerakan-gerakan kepanduan Islam.
Organisasi tersebut mendidik, membina dan melatih generasi muda muslim mengenal berbagai pengetahuan dan semangat perjuangan, dalam menentang penjajahan. Hasil tempaan dan pendidikan disini menumbuhkan semangat juang sehingga lahirlah tokoh-tokh perjuangan kemerdekaan seperti HOS Cokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H Hasyim Asy’ari dan lain-lain.
f. Peranan Umat Islam pada Masa Pembangunan
Berkat rahmat Allah SWT, usaha perjuangan kaum muslimin dan seluruh lapisan masyarakat berhasil dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. proses perjuangan yang panjang dalam merebut kembali kemerdekaan yang telah dirampas oleh penjajah, telah banyak mengobarkan berupa harta benda, jiwa dan raga kaum muslimin.
Setelah merdeka, bebas dari kungkungan kaum penjajah, kaum muslimin secara bertahap mengisi kemerdekaan itu dengan pembangunan disegala bidang, pembangunan fisik material berupa perbaikan sarana transportasi, pertanian, perumahan dan perekonomian, sehingga pembangunan fisik material secara bertahap makin lama makin meningkat. Pembangunan bidang mental seperti meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama, meningkatkan pendidikan, mengembangkan kehidupan dan sosial kemasyarakatan yang aman tertib dan rukun juga dilaksanakan.
Kaum muslimin selalu membangun dan mengisi kemerdekaan itu dengan menselaraskan pembangunan materiil dan spirituil dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Kaum muslimin bersama segenap anggota bangsa Indonesia lainnya kini mengatur dan memerintah bangsanya sendiri. Pemerintahan dilaksanakan dengan cara yang demokratis. Keamanan, ketertiban dan kesejahteraan sosial terus diupayakan dan ditegakkan. Demikian juga persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga terwujudlah negara yang aman, adil dan makmur dengan penuh limpahan rahmat dan ridha Allah SWT, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan yang dituangkan dalam UUD 1945.
g. Peranan Organisasi Islam dalam Masa Pembangunan
Organisasi Islam yang sejak zaman penjajah selalu membina dan mendidik umat dengan berbagai ilmu pengetahuan dan mengembangkan semangat perjuangan menentang penjajah, maka setelah merdeka usaha itu pada dasarnya tetap terus dikembangkan dan ditingkatkan lebih baik. Sikap menentang penjajahan dialihkan dan diganti dengan sikap giat, semangat dan etos kerja untuk mencapai ketinggian ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan mengisi pembangunan bangsa.
Dalam rangka ikut serta meningkatkan pengetahuan, kecerdasan dan kualitas masyarakat telah diupayakan melalui pendidikan pada jalur sekolah. Didirikanlah oleh organisasi-organisasi Islam berbagai lembaga pendidikan dari jenjang pendidikan dasar seperti SD, SMP, pendidikan menengah seperti SMA dan pendidikan tinggi seperti Universitas dan Institut yang tersebar diseluruh daerah. Diantara oragnisasi Islam yang giat dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan ialah Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al-Washliyah, Al-Irsyad, Djamiat Khair, GUPPI, PUI, Al-Khairat, ICMI dan lain-lain.
h.Peranan Para Individu Muslim dalam Pembangunan
Organisasi Islam yang berperan dalam pembangunan Nasional bukan hanya mereka yang tergabung dalam organisasi. Banyak orang Islam secara pribadi baik sebagai dokter, dosen, pejabat negara, wakil rakyat di DPR, pengusaha, Cendikiawan, petani, guru, pengrajin, dan lain-lain mereka semuanya melakukan kegiatan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing. Tanpa terikat dengan organisasi keagamaan, mereka menyumbangkan dharma baktinya kepada nusa dan bangsa. Memang menjadi umat Islam tidak harus menjadi anggota organisasi atau partai Islam. Menurut Al Qur’an orang Islam yang baik adalah yang paling bertakwa, yang beriman kepada Allah dan beramal shaleh, dimanapun mereka berada.
i. Peranan Lembaga Pendidikan dalam Masa Pembanguna
Lembaga pendidikan Islam dalam kegiatannya lebih menekankan pembinaan, peningkatan ilmu pengetahuan dan kecerdasan masyarakat melalui pendidikan pada jalur sekolah dan luar sekolah.
Peningkatan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas yang melalui jalur pendidikan sekolah biasanya terdiri dari pendidikan sekolah umum, seperti SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi dan Madrasah seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan perguruan tinggi agama seperti IAIN
Melalui pendidikan ini secara bertahap ilmu pengetahuan bertambah meningkat dan Sumber Daya Manusia lebih berkualitas. Dengan meningkatnya kualitas masyarakat maka hasil kerja masyarakatpun semakin meningkat. Dengan demikian meningkatnya hasil umat melalui jalur luar sekolah, antara lain dilaksanakan melalui pengajian, Taman Bacaan Al Qur’an, kursus-kursus ilmu keagamaan dan pembinaan di Masjid-Masjid.
Demikanlah betapa besar peranan kelembagaan pendidikan Islam dalam pembangunan pembangunan bangsa erat kaitannya dengan sumber daya manusianya sebagai pelaksana pembangunan itu sendiri.
Minggu, Oktober 12, 2008
ISLAM MASA DAULAT BANI ABBASIYAH
A. Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal
132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M
(Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran
Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran
(Hasjmy, 1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah.
Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.
B. Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-
beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia . d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian
(kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah . Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh
para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari
kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat . Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah
(Lapidus,1999:180).
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut :
a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b. Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M)
c. Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
d. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
e. Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f. Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h. Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i. Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j. Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)
2. Periode kedua (232 H/847 M - 590 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada sistem desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :
a. Kaum Turki (232-590 H)
b. Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c. Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa Khalifah Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1. Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya ——dan berlanjut ke generasi sesudahnya—— merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim,
2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang- orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang- cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antara nya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal
1. Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat
terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya sudah berakhir
2. Kemerosotan Ekonomi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan
3. Konflik Keagamaan
Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan
Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin (Yatim, 2003:61-62).
b. Faktor Eksternal
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
C. Perkembangan Intelektual
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1. Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2. Gerakan Terjemah
Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain ;
a. Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al- Ghazali,Ibnu Rusyid.
b. Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi. c. Bidang Matematika: Umar al-Farukhan , al-Khawarizmi.
d. Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya. Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
1. Ilmu Umum
a.Ilmu Filsafat
1) Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2) Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
6) Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain- lain
7) Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
b. Bidang Kedokteran
1) Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2) Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing.
3) Thabib bin Qurra (836-901 M)
4) Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c. Bidang Matematika
1) Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0). d. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
1) Al Farazi : pencipta Astro lobe
2) Al Gattani/Al Betagnius
3) Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius
e. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu Naqli
a. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
b. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain
c. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
d. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H). Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).
D. Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:
a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
E. Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah
Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam. Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
1. Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah
dagang.
b) Membangun armada-armada dagang.
c) Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.
Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1. Istana Qarruzzabad di Baghdad
2. Istana di kota Samarra
3. Bangunan-bangunan sekolah
4. Kuttab
5. Masjid
6. Majlis Muhadharah
7. Darul Hikmah
8. Masjid Raya Kordova (786 M)
9. Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10. Istana Al Hamra di Kordova
11. Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).
F. Strategi Kebudayaan dan Rasionalitas
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187).
Dalam negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1. Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2
faktor, yaitu :
a. Pembentukan lembaga wizarah b. Pemindahan ibukota
2. Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
a. Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b. Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
3. Kebudayaan Yunani
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a. Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b. Harran,Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c. Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota
Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato”
(Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo
Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
4. Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a. Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
b. Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.
D. Catatan Simpul
Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain :
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang profesional.
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal
132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M
(Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran
Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran
(Hasjmy, 1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah.
Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.
B. Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-
beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali .
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia . d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian
(kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah . Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh
para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari
kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat . Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah
(Lapidus,1999:180).
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut :
a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b. Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M)
c. Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
d. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
e. Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f. Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h. Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i. Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j. Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)
2. Periode kedua (232 H/847 M - 590 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada sistem desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :
a. Kaum Turki (232-590 H)
b. Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c. Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa Khalifah Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1. Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya ——dan berlanjut ke generasi sesudahnya—— merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim,
2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang- orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang- cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antara nya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal
1. Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat
terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya sudah berakhir
2. Kemerosotan Ekonomi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan
3. Konflik Keagamaan
Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan
Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.
4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin (Yatim, 2003:61-62).
b. Faktor Eksternal
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
C. Perkembangan Intelektual
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1. Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2. Gerakan Terjemah
Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain ;
a. Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al- Ghazali,Ibnu Rusyid.
b. Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi. c. Bidang Matematika: Umar al-Farukhan , al-Khawarizmi.
d. Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya. Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
1. Ilmu Umum
a.Ilmu Filsafat
1) Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2) Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
6) Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain- lain
7) Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
b. Bidang Kedokteran
1) Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2) Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai penterjemah bahasa asing.
3) Thabib bin Qurra (836-901 M)
4) Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c. Bidang Matematika
1) Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0). d. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
1) Al Farazi : pencipta Astro lobe
2) Al Gattani/Al Betagnius
3) Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius
e. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu Naqli
a. Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain
b. Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain
c. Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
d. Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H). Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah (Hasjmy, 1995:276-278).
D. Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:
a. Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b. Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c. Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
d. Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e. Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
E. Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah
Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam. Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
1. Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2. Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3. Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah
dagang.
b) Membangun armada-armada dagang.
c) Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.
Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1. Istana Qarruzzabad di Baghdad
2. Istana di kota Samarra
3. Bangunan-bangunan sekolah
4. Kuttab
5. Masjid
6. Majlis Muhadharah
7. Darul Hikmah
8. Masjid Raya Kordova (786 M)
9. Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10. Istana Al Hamra di Kordova
11. Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).
F. Strategi Kebudayaan dan Rasionalitas
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk tujuan tertentu (Syalaby, 1997:187).
Dalam negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1. Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2
faktor, yaitu :
a. Pembentukan lembaga wizarah b. Pemindahan ibukota
2. Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
a. Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b. Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
3. Kebudayaan Yunani
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a. Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b. Harran,Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c. Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota
Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato”
(Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo
Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
4. Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a. Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
b. Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.
D. Catatan Simpul
Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain :
1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya belum ada tentara Khusus yang profesional.
Rabu, September 17, 2008
Mengapa Belajar Sejarah?
Alasan pertama: Sejarah Islam – lebih dari sekadar tanggal, tempat, tokoh dan peristiwa yang biasa dihafal – adalah hikmah dan pelajaran yang tidak akan pernah ada habisnya. Allah berfirman: ”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah; dan hendaknya setiap diri melihat apa yang telah ia perbuat untuk hari esoknya” (QS Al-Hasyr : 18). Maksud dari hikmah dan pelajaran disini adalah sebagai berikut
Pertama: Dalam sejarah Islam, ada contoh-contoh dan teladan yang baik, yang mesti kita ikuti. Islam telah berhasil diaplikasikan pada masa-masa terbaiknya, dan kita harus mengulangnya kembali. Sejarah Islam penuh dengan tokoh-tokoh yang harus kita teladani. Allah berfirman : ”Kalian adalah umat terbaik yang dihadirkan di tengah-tengah umat manusia ...”. Itulah generasi Nabi dan para sahabat, dan bisa pula kita jika mengikuti jejak mereka. Rasulullah bersabda : ”Sebaik-baik generasi adalah generasiku, lalu generasi sesudahnya, lalu generasi sesudahnya”. Itulah generasi salaful ummah : 1) generasi Nabi dan para sahabat, 2) generasi tabi’un, dan 3) generasi tabi’ut tabi’in.
Kedua: Dalam sejarah Islam, ada contoh-contoh yang tidak baik, yang tidak boleh kita ulangi lagi. Rasulullah bersabda, ”Seorang mukmin tidak akan terjerumus kedalam lubang yang sama untuk yang kedua kalinya”.
Ketiga: Dengan mempelajari sejarah Islam, kita akan memahami sunnatullah (ketentuan-ketentuan Allah) dalam sejarah. Allah berfirman: ”Apakah mereka memperhatikan ketentuan-ketentuan (Allah) terhadap orang-orang terdahulu. Tidaklah ada perubahan dalam ketentuan-ketentuan Allah, dan tidaklah ada penyimpangan dalam ketentuan-ketentuan Allah” (QS Faathir : 43). ”Tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka ...” (QS Faathir : 44).
Sedangkan alasan yang kedua: Kira-kira sepertiga dari Al-Qur’an adalah kisah orang-orang terdahulu (sejarah). Bahkan sebagian besar isi Kitab Perjanjian Lama (Taurat) adalah kisah orang-orang terdahulu (sejarah). Ini menunjukkan pentingnya mengetahui dan mempelajari sejarah.
Rabu, September 10, 2008
ISLAM MASA DAULAT BANI UMAYYAH
A. Asal-Usul dan Pertumbuhan Bani Umayyah
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41
H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282).
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan
(Mufrodi,1997:70).
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem monarkhi.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
B. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi
C. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan
tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi).
Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi,
1984:167).
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan daerah yang dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Dimulai oleh kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang sejarah Islam, yaitu :
a. Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b. Pelaksanaan Al ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah. c. Penggempuran terhadap baiat Allah.
d. Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan pelayan rumah tangga khalif didalam istana.
Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya.
Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya- karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran
rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah
Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut.
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitar dirinya. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab.
Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid.
Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan
mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah- Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh -Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing- masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama
16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14. Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya.
Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari
Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.
E. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
1. Sistem Sosial
Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam (Amin,
1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-
715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya.
Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang muslimin Arab.
Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya
“saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara (Hasjmy, 1993:154).
Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap (Yatim, 1998:139).
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah:
a. Politik dalam Negeri
1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari
Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab (Pulungan, 1994:164).
2) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
• Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
• Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
• Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
• Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
• Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat (Hasjmy, 1993:82).
Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru antara lain bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah. Organisasi Syurthahk
(kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
• Diwanul Kharrraj,
• Diwanul Rasaail,
• Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
• Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat pnting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir kemudian diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172).
Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
• Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
• Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
• An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding
(Hasjmy, 1993:172).
Selain iitu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam militer (Pulungan, 1997:166). Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.
b) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.
Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin (Syalaby, 1971:139).
Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa khilafaur rasyidin. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan
(Nasution, 1985:61).
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova (Hasan, 1967:91). Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di
Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan syirik, yang menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari rakyat yang telah lama menanti-nantikannya.
Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat (Mufrodi,
1997:80).
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak
(Bosworth,1993:26). Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan (Mufradi, 1997:76).
Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam.
Tetapi kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya (Yatim,
2003:44).
F. Kemajuan Intelektual
Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh dan filsafat. Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang dikenal dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra.
Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al- Farazdak.
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain-lainnya (Hasjmy, 1993:183).
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
• Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul
Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
• Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan amsaal.
Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad.
Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qurr’an dicari dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi (Hasjmy, 1993:183).
G. Sebab-Sebab Runtuhnya Bani Umayyah
Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan
(Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
3. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannnya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
4. Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik, tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat menguasai sepenuhnya wilayah yang luas itu.
5. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah.
6. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
7. Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim,
2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
H. Catatan Simpul
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Dinasti ini dipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn Abdul Malik,
Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid III), Ibrahim ibn Malik dan
Marwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya.
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41
H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282).
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan
(Mufrodi,1997:70).
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem monarkhi.
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol.
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang, mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
B. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi
C. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat.
Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan
tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi).
Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi,
1984:167).
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan empat belas Khalifah. Banyak kemajuan, perkembangan dan perluasan daerah yang dicapai, lebih-lebih pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Dimulai oleh kepemimpinan Muawiyyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M)
Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2. Yazid ibn Muawiyah (681-683 M)
Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala (Yatim, 2003:45).
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan empat hal yang sangat hitam sepanjang sejarah Islam, yaitu :
a. Pembunuhan Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b. Pelaksanaan Al ibahat terhadap kota suci Madinah al - Munawarah. c. Penggempuran terhadap baiat Allah.
d. Pertama kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan pelayan rumah tangga khalif didalam istana.
Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
3. Muawiyah ibn Yazid (683-684 M)
Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya selama enam bulan.
4. Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M)
Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerinthannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5. Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M)
Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak, sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya.
Ia wafat pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karya- karya terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21 tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan khalif Abdullah ibn Zubair.
6. Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M)
Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada dan Toledo.
Selain melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran
rakyatnya. Khalifah Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah
Daulah Bani Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut.
7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)
Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitar dirinya. Menjelang saat terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan memegang jabatan wazir besar.
Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan penaklukan ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8. Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M)
Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani Umayyah.
Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, ia berhasil menjalin hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab.
Pemerintahannya membuka suatu pertanda yang membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)
Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid.
Pemerintahan Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah. Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)
Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan
mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani Abbas.
Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya.
Meskipun demikian, pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun 743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19 tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah- Khalifah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah Bani Ummayyah.
11. Walid ibn Yazid (743-744 M)
Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh.
Meskipun demikian, kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh -Walid ibn Yazid ialah melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat untuk masing- masing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12. Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M)
Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja negara. Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa pemerintahannya berlangsung selama
16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13. Ibrahim ibn Malik (744 M)
Diangkatnya Ibrahim menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari Arnenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14. Marwan ibn Muhammad (745-750 M)
Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya.
Marwan ibn Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya. Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari
Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M. Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya dipegang oleh Bani Abbasiyah.
E. Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah Bani Umayyah
1. Sistem Sosial
Dalam lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam (Amin,
1997:106). Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan.
Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid ibn Abdul Malik (705-
715 M) kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Ia seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu, ia menyempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kabilah yang berlalu lalang dijalan tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta dan sebagainya.
Akibat lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk Islam. Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan oleh orang-orang muslimin Arab.
Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya
“saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara (Hasjmy, 1993:154).
Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap (Yatim, 1998:139).
2. Sistem Politik
Perubahan yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik, diantaranya adalah:
a. Politik dalam Negeri
1) Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari
Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Muawiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar ibn Khattab (Pulungan, 1994:164).
2) Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
• Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
• Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
• Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
• Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
• Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat (Hasjmy, 1993:82).
Masa Bani Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru antara lain bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah. Organisasi Syurthahk
(kepolisian) pada masa Bani Umayyah disempurnakan,. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian organisasi kehakiman, yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk empat buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
• Diwanul Kharrraj,
• Diwanul Rasaail,
• Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
• Diwanul Khatim.
Dewan ini sangat pnting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir kemudian diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172).
Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
• Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
• Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
• An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding
(Hasjmy, 1993:172).
Selain iitu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam militer (Pulungan, 1997:166). Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.
b) Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.
Pada zaman Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut. Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin (Syalaby, 1971:139).
Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa khilafaur rasyidin. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan
(Nasution, 1985:61).
Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova (Hasan, 1967:91). Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,
Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di
Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah adalah semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan syirik, yang menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari rakyat yang telah lama menanti-nantikannya.
Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
1) Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
2) Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
3) Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat (Mufrodi,
1997:80).
3. Sistem Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak
(Bosworth,1993:26). Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan (Mufradi, 1997:76).
Jadi sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam.
Tetapi kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya (Yatim,
2003:44).
F. Kemajuan Intelektual
Kehidupan ilmu dan akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan seperti zaman khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu, sebagaimana masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah, tarikh dan filsafat. Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah Yuhana al Dimaski, yang dikenal dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes, yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra.
Kebanyakan masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu lahir beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan Al- Farazdak.
Kota-kota yang menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, masih seperti zaman khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba, Granada dan lain-lainnya (Hasjmy, 1993:183).
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah terbagi menjadi dua yaitu:
1. Al-Adaabul Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
• Al-Ulumul Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, al-Hadist, al-Fiqh, al-ulumul
Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi.
• Al-Ulumud Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti ilmu thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari bahasa Persia dan Romawi.
2. Al-Adaabul Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zaman Jahiliah dan di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabah dan amsaal.
Pada permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnaad.
Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan ayat-ayat al-Qurr’an dicari dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang bukan hadist, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya. Maka kitab tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh orang-orarng Muslim. Diantara para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu: Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry, Ibnu Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi (Hasjmy, 1993:183).
G. Sebab-Sebab Runtuhnya Bani Umayyah
Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Pertentangan antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan
(Himyariyah) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Dinasti Bani Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para Khalifah cenderung kepada satu pihak dan menafikan yang lainnya (Ali, 1981:169-170).
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka adalah pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab (Watt, 1990:28).
3. Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatru yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannnya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga Istana (Hitti, 1970:281).
4. Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayyah telah demikian luas wilayahnya, sehingga sukar mengendalikan dan mengurus administrasi dengan baik, tambah lagi dengan sedikitnya jumlah penguasa yang berwibawa untuk dapat menguasai sepenuhnya wilayah yang luas itu.
5. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum Syi’ah dan Khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah.
6. Adanya pola hidup mewah di lingkungan istana menyebabkan anak-anak Khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
7. Penindasan terus menerus terhadap pengikut-pengikut Ali pada khususnya, dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya, sehingga mereka menjadi oposisi yang kuat. Kekuatan baru ini, dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abdul al- Muthalib dan mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini menjadi penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. (Yatim,
2003:48-49 dan Hasymy, 1993:210).
H. Catatan Simpul
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Dinasti ini dipimpin oleh 14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn Abdul Malik,
Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid III), Ibrahim ibn Malik dan
Marwan ibn Muhammad.
Pada masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini. Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Di samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli, yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya hadist palsu, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist, yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya.
Langganan:
Komentar (Atom)
